Minggu, 13 Januari 2008

Indonesia “Raja” Plagiat

Indonesia “Raja” Plagiat

Mengapa saya menamai essay saya ini dengan Indonesia “Raja” Plagiat. Karena plagiat di Indonesia saat ini sedang marak-maraknya. Seperti sinetron-sinetron di Indonesia banyak yang meniru film-film dari Korea maupun Jepang bahkan untuk soundtrack film pun kita meniru dari negara lain. Tidak hanya dibidang sinetron dan soundtrack film, dalam banyak hal Indonesia sering kali menjadi plagiat sejati. Karena itu saya menulis essay tentang hal ini.

Plagiarism (dari Inggris) atau plagiat (dari Bahasa Belanda) memang sudah banyak diketahui oleh masyarakat bahkan mungkin dilakukan oleh masyarakat, tetapi tidak pernah dilacak sistematis di Indonesia, jadi kita tidak pernah tahu seberapa sering dilakukan di negara ini. Kamus menyatakan bahwa plagiarism sama dengan pencurian. ‘Plagiarius’ (Latin) berarti pencuri dan plagiat diartikan mencuri, mengambil idee, ciptaan, dan tulisan atau sebagian tulisan orang lain dan mencantumkan nama sendiri sebagai penciptanya.

Plagiat sudah dianggap “halal” di negara ini. Banyak kasus-kasus plagiat yang terjadi di Indonesia. VCD, CD, dan DVD bajakan salah satu masalah yang dihadapi bangsa ini. Banyak penyanyi dari dalam maupun luar negeri dan film-film dari dalam maupun luar negeri yang sudah dibajak dan mereka dirugikan karena kasus pembajakkan tersebut. Kita dengan mudahnya menemukan dan membeli VCD, CD, dan DVD banyak dibanyak tempat di negara ini. Banyak tempat, seperti saat saya sedang berjalan-jalan di sebuah pusat perbelanjaan di Jakarta. Di salah satu lantai di pusat perbelanjaan itu, saya melihat banyak sekali para pedagang VCD,CD, dan DVD bajakan baik lagu-lagu maupun film sangat bebas berjualan. Sepertinya pihak pusat perbelanjaan itu dengan sengaja menyediakan tempat bagi para pedagang barang ilegal tersebut untuk berjualan. Sudah dengan sangat bebas terjual tanpa ada rasa malu dan takut lagi dari para pedagang karena menjual barang-barang bajakan. Saya pernah bertanya kepada salah satu pedagang “ga takut kena razia mas?”, tanya saya, “ya kalau ada razia, kita tutup dulu mba. Kalau ada razia suka “bocor” duluan mba”, begitu jawab pedagang itu. Kita pun para konsumen membelinya juga tanpa rasa bersalah dan malu karena kita membeli barang bajakan. Sebenarnya para aparat pun sudah sering melakukan razia pada barang-barang ilegal ini. Tetapi lebih sering berita razia tersebut “bocor” lebih dulu ke pedagang-pedagang barang-barang bajakan tersebut sehingga mereka mudah menghindar dan mudah pula berdagang kembali. Kalau masyarakatnya sendiri mendukung perdagangan barang-barang bajakan ini dan gagalnya aparat untuk mengungkap kasus ini, kapan ya Indonesia akan terbebas dari salah satu masalah plagiat ini yaitu pembajakan?

Sinetron Indonesia terus berkembang dengan terus bermunculan judul-judul sinetron yang menghias layar kaca di Indonesia dari pagi hingga malam. Awalnya saya cukup bangga karena para pembuat sinetron saya anggap sangat produktif dengan terus menghasilkan sinteron walaupun saya bukan pemirsa setia dari sinetron-sinteron tersebut, tapi saya cukup bangga karena itu adalah karya anak-anak negeri. Rasa bangga saya langsung hilang karena judul-judul sinetron yang tayang itu adalah masalah lain dari plagiat di Indonesia yaitu maraknya membuat sinetron dengan mengambil ide cerita dari negara Jepang, Korea, dan Taiwan. Sinetron-sinetron tersebut selalu mengisi layar kaca di Indonesia mulai dari pagi sampai malam. Tidak hanya satu dua judul saja, tapi banyak sinetron yang sudah dihasilkan pembuat sinetron di Indonesia. Saya memiliki beberapa data judul-judul sinetron tersebut

Benci Bilang Cinta (Goong / Princess Hours - korean drama)
1. Benci Bilang Cinta (Goong / Princess Hours - korean drama)
2. Benci Jadi Cinta (My Girl – Korean drama)
3. Impian Cinderella (Prince Who Turns Into Frogs - taiwan drama)
4. Cowok Impian (It Started With A Kiss - taiwan drama)
5. Putri Kembar (100% Senorita / Twins - taiwan drama)
6. Dua Hati Satu Cinta (Qin Shen Shen Yu Meng Meng / Kabut Cinta – Taiwan drama)
7. Sumpeh Gue Sayang Loe (Smile Pasta - taiwan drama)
8. Kau Masih Kekasihku (At The Dolphin Bay - taiwan drama)
9. Pangeran Penggoda (Devil Beside You - taiwan drama)
10. Rahasia Pelangi (Love Apart A Moment - taiwan drama)
11. 2 Hati (Snow Angel - taiwan drama)
12. Berani Tampil Beda (Magicians of Love / Ai Qing Mo Fa Shi – Taiwan drama) -
apparently belon maen

Judul-judul diatas adalah sebagian contoh kecil dari plagiat yang dilakukan para pembuat sinetron di Indonesia. Tidak hanya Ide yang mereka tiru tapi percakapan dalam sinetron tersebut sampai mode pakaian turut serta mereka tiru. Seperti hal yang lumrah saja plagiat ide sinetron dari drama-drama Taiwan, Jepang, dan Korea sehingga terus bermunculan sinetron-sinetron dengan judul-judul lainnya. Bahkan sinetron yang sama terus diulang dua sampai tiga kali karena permintaan dari para pemirsa. Entah apa yang ada dipikiran mereka saat akan membuat sinetron plagiat tersebut. Kembali muncul pertanyaan dalam benak saya, kapan ya para pembuat sinetron Indonesia akan membuat suatu karya yang original kalau tidak ada rasa malu dari mereka dan dukungan dari para pemirsanya yang menyukai sinetron-sinetron plagiat tersebut?

Saya mengambil istilah dari sebuah media online yaitu basic honesty (kejujuran yang mendasar dalam lubuk hati). Mungkin sebagian masyarakat di Indonesia tidak memiliki basic honesty. Kejujuran yang mendasar dalam lubuk hati untuk tidak melakukan plagiat. Memang sulit plagiat untuk diberantas karena masyarakatnya sendiri mendukung adanya plagiat tersebut bahkan budaya plagiat tersebut selalu menyertai dimanapun. Dunia pendidikan pun ada budaya plagiat, dengan adanya kebiasan menyotek yang sudah dianggap lumrah sehingga terus dilakukan oleh para penerus bangsa. Mulai dari SD sampai Perguruan Tinggi pun kebiasaan menyontek ada. Para murid dan mahasiswa ini dengan mudahnya menyotek saat pengawas sedang meleng atau dengan berbagai cara apapun.

Sudah sangat berakarkah plagiat itu sampai ada kasus lainnya yaitu plagiat dalam pembuatan skripsi. Ada sebagian para calon sarjana dengan tidak ada rasa bersalah melakukan plagiat seperti mengutip, mengambil sebagian bahkan mengambil sepenuhnya skripsi orang lain dan dengan bangganya mengakui sebagai skripsi yang ia buat sendiri. Kembali muncul pertanyaan dalam benak saya, bagaimana nasib bangsa ini dimasa yang akan datang, jika penerusnya sendiri sudah “rusak” terlebih dahulu?

Mudah-mudahan dengan semakin bertambahnya umur bangsa ini, semakin bermunculan SDM yang berkualitas dinegeri ini, masyarakat tidak lagi mendukung plagiatisme itu, seperti tidak membeli VCD, CD, dan DVD bajakan akan membantu bangsa ini terbebas dari budaya plagiatisme yang bisa menghambat kemajuan bangsa Imdonesia.

Itu tadi pendapat saya tentang plagiatisme sinetron Indonesia. Bagaimana dengan kalian?

Tolong kasih komentar kalian ya.......

makasih. :)

-galuh-

sumber-sumber:

www.google.com

.:: POPULAR ARTICLES ::.

Jika TV Lebih Memilih Rating Daripada Kualitas Programnya

Jika TV Lebih Memilih Rating Daripada Kualitas Programnya

TV adalah sebuah media yang berjenis elektronik. Berbeda dengan media lainnya, seperti koran dan radio. TV dapat audiens nikmati dalam bentuk audio dan visual. Dulu program-program di TV hanya tampil dalam warna hitam putih. Seiring berkembangnya teknologi, “sikotak ajaib” ini semakin canggih dan dapat dinikmati dimana saja, bahkan dimobil sekalipun. TV juga sudah sangat populer disemua kalangan masyarakat. Tidak hanya dikota-kota besar saja TV ada, bahkan dipelosok desapun TV sudah terkenal. Semua jenis usia dapat menikmati mulai dari anak-anak sampai orang tua.

Berbagai program ditampilkan oleh TV. Mulai dari berita, kartun, kuliner, lifestyle dan sebagainya. Dulu tahun 1980-an hanya ada satu stasiun yaitu TVRI milik pemerintah. Seiring berkembangnya waktu dan jaman maka muncullah berbagai stasiun televisi milik swasta baik yang mengudara secara nasional maupun lokal, seperti RCTI, SCTV, ANTV, INDOSIAR, Trans TV, TV 7, Global TV, O Channel, La Tivi, dan masih banyak lagi.

Dengan kemudahan untuk menikmati sajian program-program televisi dan berbagai kalangan dan usia bisa menikmati serta semakin banyaknya stasiun televisi yang terus bermunculan, seharusnya stasiun televisi yang ada di Indonesia bisa mencerdaskan bangsa bukan menjerumuskan bangsa dan terus menjaga kualitasnya. Jangan hanya melakukan pendewaan terhadap rating saja.

Dulu, setiap pukul 21.00 adalah waktunya program berita mengudara disemua stasiun TV. Pembagian program-program untuk setiap usia juga sangat jelas waktunya. Sekarang, hal seperti itu tidak ada lagi. Sepertinya saat ini, semua stasiun televisi berlomba-lomba meningkatkan rating tanpa memperhatikan kualitas dari program-program yang ditayangkan kepada audiensnya. Seperti banyak sinetron yang bermunculan ditayangkan disetiap stasiun televisi. Saya melihat sinetron yang ditampilkan, hanya menayangkan kehidupan kota besar yang gemerlap, hedonisme yang amat sangat, gaya hidup yang menyimpang dan banyak hal negatif lainnya. Bahkan, saya pernah melihat disebuah stasiun televisi swasta, menampilkan sebuah tayangan sinetron yang saat itu menayangkan adegan seorang anak smp bersama teman-temannya sedang berpesta heroin. Bahkan, dia mengajarkan kepada salah satu temannya untuk mencobanya. Sinetron itu ditayangkan sekitar pukul 19.30, saat dimana semua orang bisa menonton, bahkan anak-anakpun dapat menyaksikan. Bagaimana jika audiensnya anak-anak yang menganggap adegan itu benar? Saat itu saya bertanya, apa yang ada didalam pikiran sipembuat sinetron tersebut dan apa yang ada dalam pikiran pengelola stasiun televisi swasta tersebut untuk menayangkan sinetron itu.

Lagi-lagi alasannya adalah rating. Akibat pendewaan terhadap rating inilah kemudian muncul produksi sinetron kejar tayang. Produksi dilakukan secara cepat untuk mengantisipasi rating. Kualitas sinetron pun akhirnya diabaikan. Dilihat dari ceritanya sendiri, kebanyakan sinetron menggunakan resep yang hampir sama yaitu persoalan cinta yang ruwet dengan intrik keluarga dan perselingkuhan.

Kehidupan keluarga yang ada dalam sinetron seperti dalam mimpi. Di tengah krisis ekonomi dan politik yang melanda, kemewahan dalam sinetron menjadi hal yang biasa. Keluarga yang kaya raya, figur yang cantik dan tampan, perusahaan milik keluarga, rumah mewah, mobil mewah, baju mahal, belanja berlebihan, restoran mewah, handphone merupakan atribut visual yang seolah menjadi keharusan. Tanpa perduli dengan karakter tokoh yang dimainkan.

Selain tidak realistik, kebanyakan sinetron menggambarkan perempuan dan laki-laki secara stereotip. Perempuan digambarkan sebagai sosok yang lemah, cengeng, tertindas, tidak mandiri dan tergantung laki-laki. Sementara laki-laki digambarkan sebagai sosok yang kuat, tegar, mempunyai kekuasaan, mandiri dan melindungi. Kecengengan perempuan ini ditampakkan dengan banyaknya adegan menangis yang hampir merupakan adegan wajib bagi perempuan. Perempuan juga hampir selalu diposisikan dalam ruang yang terbatas yaitu ruang domestik. Perempuan yang berada di sektor publik hanya digambarkan bekerja di kantor sebagai status saja, sementara ceritanya masih berkutat pada masalah cinta maupun ruang domestiknya.

Ada lagi program acara sinetron bertema religi. Kalau tidak salah, sinetron bertema religi itu dimulai saat bulan Ramadhan. Awalnya memang sangat bertema religi, tapi lama kelamaan hanya ada kisah mistik dan kekerasan yang dihadirkan didalamnya. Seperti disalah satu episodenya, ditampilkan adegan seorang anak yang mendorong ibunya sampai tersungkur dilantai. Lagi-lagi, karena alasan rating program-program yang penuh dengan adegan mistik dan kekerasan terus ditayangkan bahkan sudah hampir semua stasiun televisi menayangkannya.

Lalu ada lagi program acara yang bertema mistik. Yang menampilkan adegan-adegan sekelompok orang sedang mengusir hantu disuatu rumah atau bangunan. Dan stasiun TV tersebut menayangkan seharinya bisa lebih dari dua kali. Apakah itu mengajak audiensnya menjadi paranoid. Tapi anehnya ratingnya terus meningkat.

Program berita kriminalpun sudah “ikut membantu” masyarakat untuk berbuat kekerasan. Kejadian kriminal dengan sangat terbuka ditayangkan, seperti bagaimana cara orang itu membunuh atau merampok. Apakah itu tidak akan memberikan “jalan” bagi masyarakat lainya untuk ikut juga berbuat kriminal.

Sekarang juga terus bermunculan program kuis dengan hadiah milyaran rupiah. Disana seperti ditampilkan orang yang dengan mudahnya menjadi jutawan atau milyuner. Apakah itu sama saja mengajarkan masyarakat untuk berpikiran “Ah, ngapain kerja cape-cape dan sekolah tinggi untuk menjadi orang kaya, ikut kuis saja sudah bisa jadi jutawan atau milyuner”. Bukankah itu sama saja mengajarkan kepada masyarakat untuk menjadi malas dan tidak mau bersekolah. Alasannya lagi-lagi rating yang tinggi.

Label penunjuk untuk siapa tayangan ini disiarkan yang terdapat pada layar kaca, seperti bimbingan orang tua (BO), dewasa (DW), dan semua umur (SU). Sepertinya tidak ada gunannya, tetap saja anak-anak bisa menonton program untuk dewasa. Seperti salah satu kasus, yaitu meninggalnya seorang anak karena meniru adegan smack down dari televisi. Walaupun sudah ada label DW tetap saja banyak anak-anak yang menonton sehingga menjadi korban dari tayangan tersebut. Siapa yang bisa melarang? orang tua sudah letih bekerja seharian penuh, sampai dirumah hanya mendampingi anaknya sampai setengah malam, lalu sisa malamnya anak-anak bisa bebas menonton acara TV kesukaan mereka. Bahkan sekarang banyak orangtua yang menyediakan TV untuk anak-anaknya dikamar mereka masing-masing.

Moral bangsa kita semakin hancur, ironisnya yang membantu menghancurkannya adalah media televisi yang seharusnya menjadi media yang turut serta memajukan bangsa. Dengan alasan rating, program-program berbau kekerasan, sex, mistik, hedonisme, dan gemerlap kehidupan serta mudahnya mendapatkan uang terus ditayangkan tanpa memikirkan bagaimana nasib moral bangsa kita, khususnya para penerus bangsa ini.

Tadi pendapat saya tentang dunia pertelevisian di Indonesia saat ini. Bagaimana dengan kalian?

Tolong komentarnya ya.............

Makasih. :)

-galuh-

Sumber: www.google.com

Groupies

Groupies, Baik atau Buruk?

Saat sebuah grup band mulai dibentuk, untuk memperoleh kesuksesan dibutuhkan teknik bermain musik yang baik, lagu yang indah, dan tidak kalah pentingnya penggemar yang mau mendengarkan. Tapi saat penggemar itu sudah berlebihan konteks dan namanya sudah menjadi lain, yaitu Groupies.

Groupies, fanatisme yang berlebihan terhadap sosok idolanya. Fenomena yang sedang berkembang saat ini dikalangan remaja. Remaja yang masih dalam tahap pencarian jati diri dan jiwa yang dimiliki masih labil sehingga remaja mencari sosok seorang idola untuk menjadi panutannya. Disitulah groupies bisa berkembang tumbuh dalam pergaulan sehari-hari. Remaja akan melakukan apapun untuk dekat bahkan memiliki idolanya. Mereka akan menguntit idolanya kemanapun mereka pergi. Rela untuk “dipermainkan” bahkan mau sampai ditiduri oleh idolanya.

Mengapa groupies bisa berkembang dengan pesat pada wanita saja. Sebenarnya fenomena ini baik atau buruk. Lalu bagaimana dengan artisnya sendiri apakah mereka dirugikan dengan berkembangnya fenomena ini.

Bagaimana pendapat para ahli tentang hal ini. Berikut wawancara Agung Ayu Galuh, dengan dosen Psikologi Klinis Universitas Padjadjaran,

Drs. Achmad Djunaidi, M.Si. di fakultas Psikologi Unpad, Jatinangor, Sumedang, Jabar. (12/12)

Berikut penuturannya:

Bagaimana pendapat Anda tentang fenomena groupies yang berkembang dimasyarakat saat ini?

Bagi saya tidak apa-apa, asal bergeraknya dalam hal yang positif. Kenapa tidak apa-apa, karena untuk saat ini sepertinya fanatisme sedang diperlukan supaya orang menjadi lebih kuat dalam menghadapi tantangan.

Fanatisme seperti apa yang sedang dibutuhkan saat ini?

Yang sekarang diperlukan adalah komitmen terhadap apa yang sedang mereka perjuangkan. Groupies itukan ada positif dan negatifnya. Positifnya, kalau dia punya arah yang jelas, misalnya yang bersifat kearah pengembangan diri. Diperlukan komitmen. Tapi, kalau terarah pada kelompok-kelompok yang eksklusif. Hanya kepentingan pribadi, memang fanatisme ini menjadi bahaya.

Mengapa groupies itu lebih banyak berasal dari kaum wanita?

Karena wanita merasa lemah, sehingga dia mencari tokoh-tokoh dan tokoh-tokoh ini dia anggap menjadi panutannya. Sehingga dia menganggap ada dukungan. Dukungan untuk maju.

Dukungan seperti apa yang sebenarnya diinginkan oleh mereka?

Wanitakan suka memperjuangkan persamaan hak. Walaupun sebenarnya sudah. Tapi yang komitmennya rendah juga kebanyakan wanita. Contoh, saat wanita menyerukan yang penting adalah kesetaraan, jadi laki-laki dan wanita setara. Kesetaraan yang diinginkan adalah kesamaan hak.

Sebenarnya fenomena groupies itu baik atau buruk?

Tergantung orang melihatnya. Semua perilaku itu ada sisi baik dan buruknya. Bagaimana perilaku dilihat dan diamana itu dilakukan.

Bagaimana pandangan masyarakat saat ini?

Saya tidak tahu persis tapi, itu bisa dilihat positif atau negatif, tergantung arahnya. Jika fenomenanya menjadi kelingkungan yang eksklusif, itu menjadi tidak baik. Jika fenomena groupies itu menjadi suatu fenomena yang memasyarakat, itu menjadi baik. Jadi, tergantung tujuannya.

Paling banyak dari kalangan apakah groupies tumbuh?

Groupies tumbuh dari kalangan remaja umur 18-an sampai dewasa, dewasa muda groupies itu muncul kuat.

Mengapa baru saat dewasa muda baru muncul kuat. Mengapa tidak saat remaja?

Karena sudah punya tujuan yang jelas, saat remaja tujuannya belum jelas hanya untuk hura-hura, kalau dewasa muda itu tujuannya sudah jelas.

Kalau dari umur, apakah ada umur tertentu groupies itu?

Kalau orang-orang sudah merasa memerlukan tokoh. Artinya kalau usia itu 8-12 tahun itu sudah mulai muncul. Seperti keluarga, paman atau tantenya. Seiring waktu itu akan berkembang. Di masa remaja sudah dianggap cukup kuat, sudah mulai mengidolakan tokoh musik, tokoh olahraga, bintang film dan banyak lagi. Sudah mulai tokoh terkenal yang diidolakan. Ada yang kadarnya biasa saja ada yang sampai ekstrem. Idolanya harus ada di kehidupannya, harus menjadi milik saya. Itu yang sudah berlebihan.

Apakah perbedaan yang paling terlihat dari groupies dengan fans?

Hanya beda kadar saja menurut saya. Kalau fans, saya mengidolakan tapi kadarnya tidak terlalu berlebihan. Tidak harus idolanya harus menjadi miliknya. Kalau fans itu sudah tahu batasannya. Tidak berlebihan.

Mereka sampai berbuat nekat seperti menguntit bahkan sampai masuk kedalam kehidupan pribadi sang idolanya. Apa yang membuat mereka sampai berbuat sedemikian jauh untuk memuja idola mereka?

Kemungkinan, sangking ingin dekat dengan idolanya, jadi dia berusaha sekuat tenaga untuk dekat. Malah dalam kondisi ekstrem, dia merasa bahwa idolanya, dia yang miliki. Sehingga bagi yang diidolakan merasa terganggu. Belum tentu mereka saling mengenal, malah kadang-kadang memang tidak mengenal, itu yang membuat sang idolanya merasa terganggu. Itu yang saya bilang sudah berlebihan. Itu sudah termasuk kondisi yang tidak wajar. Tidak dalam suatu kondisi yang mendukung sang idola, malah bisa menghambat sang idola.


Kalau seperti kasus John Lenon itu bagaimana menurut Anda?

Saking mengidolakan dan dalam pikirannya idolanya itu sudah rusak, sudah tidak sesuai dengan pikirannya. Idoalnya sudah berkhianat. Kamu harus sesuai dengan pikiran saya. Seperti juga kasusnya Mahatma Gandhi yang menceritakan tentang kesamaan yang dimata pengagumnya sudah tidak sesuai.

Jadi, menurut penggemarnya idolanya sudah berubah?

Ya, sudah berubah. Sudah tidak sesuai dengan pikirannya. Kamu harus kembali sesuai dengan pikiran saya. Kalau tidak mau atau tidak bisa lebih baik kamu mati saja.


Kalau bicara tentang hati, berarti hatinya sudah tertutup?

Daripada saya harus merubah idola saya lebih baik kamu mati saja. Itu juga sering terjadi pada suami istri. Bila suami atau istrinya sudah tidak tidak sesuai dengan pikiran masing-masing maka lebih baik mati saja. Sehingga sering terjadi kasus pembunuhan antara suami istri. Tetapi kenangan masa lalunya tetap ada dipikiran masing-masing.

Apakah bisa dibilang pengaruh pergaulan, sehingga groupies bisa tumbuh?

Pasti, itu terkait dengan pergaulan. Tapi mungkin juga itu tidak tumbuh dalam kelompok. Mungkin juga dia tidak kenal tapi mengidolakan. Jadi dia merasa saya pemujanya, tidak boleh terabaikan.

Apakah karena rasa memiliki yang besar?

Salah satunya rasa memiliki. Yang lainnya juga bukan hanya rasa memiliki. Saya harus kuasai, sang idola itu tidak boleh menyimpang dari apa yang saya pikirkan.

Berarti ada rasa egois juga?

Ya, kalau yang sudah ekstrem sampai rasa egois muncul. Bukan hanya untuk kemajuan bersama tapi sampai merasa tidak perduli, sangat egois.

Mereka menjadi groupies hanya untuk kepuasan batin saja. Bagaimana pendapat Anda?

Ya itu, yang penting saya puas. Padahal dalam kelompok itu kepuasan bersama. Misalkan saya tidak merasa puas, tapi saya bisa menerima. Kalau dalam tingkatan ekstrem itu sampai tidak bisa menerima kekecewaan itu.

Apakah groupies bisa dikatakan seperti pemakai narkoba yang akan melakukan apapun untuk mendapatkan narkoba tersebut?

Tidak bisa, itu berbeda. Kalau narkoba lebih karena pengaruh zat adiktif. Kalau ini kekacauan dalam pikiran tanpa pengaruh unsur-unsur kimiawi dalam tubuh. Jadi mindsetnya yang rusak.

Seperti apa mindset itu?

Apa yang saya pikir, saya rasa dan yang harus saya lakukan, padahal itu orang lain.

Terkadang ada artis yang memanfaatkan para groupies untuk “dipermainkan”, bagaimana pendapat Anda?

Menurut saya itu tidak baik, tidak pada tempatnya. Menjadi rasa memiliki yang berlebihan. Menurut saya salah.

Ada groupies yang sampai mau ditiduri oleh idolanya, bagaimana pendapat Anda?

Dipikiran mereka dia sudah milik saya, kita sudah saling memiliki.

Sebenarnya groupies bisa dibilang fenomena lama, mengapa sekarang bisa tumbuh kembali?

Itu sepanjang jaman akan tetap ada, itu termasuk perilaku-perilaku orang dalam mengidolakan seseorang ada sesuatu yang berlebih. Sebenarnya itu sepanjang jaman, hanya mungkin pemberitaannya saja yang tidak pernah muncul.


Ada groupies yang masih memuja idolanya, bahkan ketika idolanya sudah meninggal. Seperti melakukan ziarah kemakam idolanya. Bagaimana pendapat Anda?

Karena merasa itu sudah menajadi bagian dari diri saya. Dia tidak bisa menerima kalau idolanya sudah meniggal. Walaupun sudah meninggal, dia tetap hidup, hidup dalam hati saya. Lebih mudah dia datang kekuburannya. Hatinya masih terhadap idolanya yang sudah meninggal. Itu bagi saya juga sudah berlebihan.

Berarti bisa dibilang itu dibawah sadarnya?

Tidak selalu dibawah sadar. Mungkin juga dia sadar. Tapi hanya tidak bisa menghilangkan idolanya dari pikirannya. Seperti kita kalau sudah jatuh cinta, walaupun dia sudah menghilang tapi tetap ada dalam pikiran kita. Masih terbayang-bayang

Apakah hanya terjadi pada remaja saja, bagaimana dengan orang dewasa seperti orangtua yang mengidolakan seseorang dan ingin anaknya seperti idolanya?

Pengidolaannya ya, ada unsur groupiesnya juga. Tapi inikan dia menginginkan anaknya mempunyai kelebihan. Sudah banyak kasus seperti itu. Seperti, dia menginginkan anaknya seperti Muhammad Ali, jadi dia memberikan nama kepada anaknya dengan nama Muhammad Ali.

Bagaimana dengan artisnya sendiri, apakah mereka dirugikan atau malah diuntungkan dengan adanya fenomena groupies ini?

Tergantung artisnya, kalau dia bisa memanfaatkan dia tidak akan merasa rugi. Dia merasa senang karena ada tempat untuk “bersenang-senang”. Kalau groupiesnya sampai membuntuti, nah itu artis akan merasa terganggu karena privasinya hilang.

Pesan Anda kepada masyarakat, khususnya para groupies?

Segeralah berkonsultasi atau kalau bisa terapi jika perlu agar berkurang groupies itu. Karena itu sudah termasuk gangguan psikis.

Setelah membaca tulisan di atas tolong komentarnya ya.......

Makasih.:)

-galuh-

BUNUH DIRI MENJADI TREND DI MASYARAKAT

BUNUH DIRI MENJADI TREND DI MASYARAKAT

Berita bunuh diri kerap menyesakkan dada. Apalagi jika pelakunya berusia muda, bahkan masih anak-anak. Di tengah impitan masalah ekonomi dan sosial, tampaknya tindakan bunuh diri dipilih sejumlah orang sebagai jalan pintas yang paling mudah. Percaya atau tidak, bunuh diri seolah menjadi trend yang berkembang dalam masyarakat saat ini. Bunuh diri menjadi pilihan tanpa pandang bulu. Bisa terjadi pada orang dengan kondisi rendah ataupun yang berkecukupan , yang tinggal di desa atau di kota, serta jenis kelamin perempuan atau lelaki.

Bagaimana pendapat para ahli tentang hal ini. Berikut wawancara Agung Ayu Galuh dengan dosen Psikologi Klinis Universitas Padjadjaran, Drs. Achmad Djunaidi, M.Si. di fakultas Psikologi Unpad, Jatinangor, Sumedang, Jabar. Rabu, 11 Oktober 2006

Apa pendapat Anda tentang maraknya kasus bunuh diri yang bahkan sudah menjadi tren di masyarakat saat ini?

Saya tidak tahu sejauh mana ini dianggap sebagai trend karena saya masih belum tahu tentang data tersebut. Tetapi memang kalau dari media kita lihat makin banyak orang bunuh diri.

Yang saya ingin sorot kenapa orang bunuh diri?

Pada dasarnya setiap manusia mempunyai dua dorongan buta. Pertama disebut dorongan untuk hidup termasuk cinta, kasih sayang. Kedua adalah dorongan untuk mati yang disebut matido dorongan untuk menyerang, berkelahi, dan melukai, termasuk melukai diri sendiri. Bunuh diri termasuk melukai diri sendiri menghilangkan nyawanya sendiri.

Apa yang melatar belakangi bunuh diri sampai menjadi tren. Jika dilihat dari segi agama hal tersebut tidak baik, bagaimana tanggapan Anda?

Saya tidak mau menyinggung soal agama karena baik atau tidak baik itu normanya bisa berbeda-beda. Tapi menurut saya orang bunuh diri itu kalau orang itu sudah putus asa untuk mencapai sesuatu. Kehilangan love, dorongan untuk love hilang maka timbul dorongan untuk mati, salah satunya adalah melukai diri sendiri yaitu tadi bunuh diri. Kenapa orang kehilangan dorongan untuk hidup, ya karena tidak mendapatkan kasih sayang jadi merasa diri tidak berharga karena merasa tidak berharga maka putus asa maka dorongan agresi itu muncul semakin keras karena merasa tidak cukup mempunyai keberanian untuk menghadapi lingkungan jadi larinya ke diri sendiri sehingga terjadilah bunuh diri.

Faktor apa saja yang memicu orang sehingga melakukan bunuh diri?

Dari rasa putus asa untuk sesuatu. Untuk hidup, terutama untuk hidup itukan diperlukan kasih sayang, cinta, perhatian. Orang yg bunuh diri merasa tidak cukup mendapatkan itu. Kenapa diperlukan perhatian itu, saya ingat obrolan saya dengan Profesor Kutso dari Jepang. “Di Jepang paling banyak orang bunuh diri. Rata-rata usia remaja kebawah, paling banyak anak-anak. Karena mereka merasa tidak berharga.” Lalu bagaimana membuat orang berharga, dengan cara memberikan penghargaan. Memberikan penghargaan itu tidak perlu repot-repot, tidak usah pakai bintang jasa tapi yang diperlukan hanya ucapan secara tulus. Yang paling sederhana itu ucapan terima kasih. Coba perhatikan berapa banyak kita mengucapkan terima kasih, lalu berapa banyak kita menerima ucapan terima kasih dari orang. Di Jepang ucapan terima kasih itu masih sangat kurang. Ada tiga hal yang membuat ucapan terima kasih itu menjadi sangat berharga. Ucapan terima kasih itu menunjukan rasa kasih sayang, perhatian, dan penghargaan. Saya ngobrol dengan Profesor Kutso ,dia profesor di bidang psikologi. Dia kemana-mana bertanya “thank you dalam bahasa anda itu apa?” dan setiap ketemu saya dia bilang apa kabar dan sesudahnya mengucapkan terima kasih. Kita hanya bertemu selama empat hari.

Gejala yang sama sudah mulai muncul di Indonesia, kita sudah jarang mengucapkan terima kasih pada orang lain. Nah mungkin itu, saling menghargai, saling menghormati itu sudah semakin kurang. Kita terlalu banyak memberikan kritik-kritik negatif tanpa banyak memberikan feedback-feedback positif akibatnya orang merasa semakin kecil, semakin tidak berharga, ia merasa semakin putus asa untuk mendapatkan sesuatu, sehingga hal-hal kecil bisa jadi pemicu. Pemicu untuk dia merasa tidak ada gunanya lebih baik saya mati. Agresi yang keluar terarahkan pada diri sendiri akhirnya bunuh diri.

Di Jepang ada bunuh diri yang dinamakan harakiri dikenal sebagai bunuh diri untuk menjaga kehormatan, bisa dikatakan itu bukan sebagai rasa putus asa bagaimana tanggapan Anda?

Harakiri pun itu karena dia sudah tidak bisa melakukan apapun lagi. “Saya merasa terhormat kalau saya membunuh diri sendiri daripada saya dibunuh oleh orang lain.” Harakiri itu dilakukan misalnya jika seseorang kalah dalam pertandingan atau dalam duel daripada saya dipenggal oleh orang lain karena saya kalah lebih baik saya bunuh diri, sehingga dia merasa lebih terhormat jadi bukannya tidak ada putus asa disitu “saya berani loh untuk mati.” Profesor kutso itu juga mengkaitkan masalah ini.

Kenapa di Jepang sampai bisa begitu besar kasus bunuh diri, mungkin masalah yg menjadi pemicu adalah hal-hal kecil. Misalnya jika di kalangan siswa itu karena dia dapat nilai jelek?

Karena yang dihargai disana itu adalah sesuatu yg hebat prestasinya. Padahal dari satu kelas ada empat puluh orang, kalau hanya sepuluh orang yang rangking di kelas berarti hanya sepuluh orang yg berprestasi jadi yang dihargai hanya sepuluh orang. Orang dipacu utk berprestasi tapi tidak dihargai prestasi yang lain. Memang banyak hubungannya dengan sekolah kalau gagal lebih baik saya bunuh diri. Karena orang tua disana menekankan motif berprestasi. Tapi sekarang sudah dianggap cara itu tidak tepat untuk membangun bangsa. Membangun bangsa yang berprestasi yang sedang hancur, mungkin cepat dengan cara seperti itu tapi dengan bangsa yang sejahtera cara itu kurang tepat karena itu dia ingin mengarjakan pada masyarakat Jepang untuk menghargai anak-anaknya. Ada perubahan sekarang untuk menghargai, walaupun hanya pekerjaan kecil tetapi kalian itu berharga.

Masyarakat Jepang sudah mulai berfikir positif. Karena hal itu banyak masyarakat Jepang yang tidak bahagia padahal tujuan hidup mencari bahagia.

Bagaimana di Indonesia sendiri?

Di Indonesia saya khawatir karena sekarang kalau saya baca dimedia massa baik cetak maupun elektronik itu terlalu banyak menonjolkan hal-hal negatif artinya unsur penghargaan terhadap hal-hal yang positif semakin rendah. Kalau sekarang banyak kelihatan marak bunuh diri mungkin juga terjadinya karena merasa kurang dihargai. Jadi yang kita harus bangun adalah saling menghargai. Falsafah sunda yg baik silih asah silih asuh silih asih itu kelihatannya tidak diterapkan dengan baik, bukan silih asah tapi silih adu jadinya bukan diasuh tapi didedetken bukan lagi diasih. Kurangnya kasih sayang juga termasuk.

Mengapa sampai terjadi kasih sayang itu kurang diberikan?

Mungkin tuntutan yang salah, misalnya tuntutan ekonomi yg berlebihan atau juga model-model yang kita pakai yg salah, sistem-sistem yang tidak sesuai yang kita gunakan. Tapi ini pergeseran social, pergeseran ini sudah terlihat terlalu besar. Kalau kita pakai istilah-istilah lama kita dibilang kuno. Mungkin contoh yang paling baik adalah dalam penggunaan bahasa yg baik digeserkan oleh bahasa-bahasa yang popular, sehingga sangat aneh ada tokoh media yang mengatakan bahwa “kita tdk akan ada MTV donk” artinya mestinya budaya MTV yang bukan kita miliki malah kita pertahankan sampai dikedepankan juga kenapa ini terjadi karena factor ekonomi, keuntungan yg bisa diraup.

Tanda-tanda jika orang ingin bunuh diri itu seperti apa?

Secara fisiologis ada, biasanya itu dimulai dengan fase-fase depresi. Biasanya sudah menarik diri, menarik diri dari pergaulan, mengurung diri adalah hal yang paling parah. Mengurung diri itu sudah tanda-tanda dia depresi, itu biasanya potensial untuk bunuh diri. Kadang situasional bisa menjadi pemicu.

Apakah mungkin karena faktor lingkungan juga ?

Mungkin faktor lingkungan juga yang menyalah-nyalahkan.

Bagaimana dengan keluarga?

Termasuk keluarga, apalagi keluarga itu faktor penting. Kalau orang-orang bilang saya salah tetapi keluarga saya menerima saya tidak akan putus asa sehingga masih bisa saya berbaiki tapi kalau keluarga sudah tidak bisa menerima saya, itu yang membuat dia tidak berharga. Tidak ada love lagi yang ada hanya hate. Hate ini masih lebih baik jika hate keluar jadi balas dendam tetapi ini juga sama jeleknya sebenaranya tetapi kalau hate itu kedalam nah inilah yang menyebabkan bunuh diri. Intrakonitif menghukum diri sendiri melukai diri sendiri.

Kenapa bunuh diri menjadi pilihan terakhir untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi seolah tidak ada cara lain untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi?

Katanya kalau orang bunuh diri semuanya sudah gelap, sudah tidak ada lagi yang bisa diharapkan. Tetapi tetap masalahnya adalah kasih sayang dan penghargaan.

Jadi makin kesini banyak orang Indonesia yang merasa tidak cukup mendapatkan kasih sayang dan tidak merasa dihargai sehingga merasa dirinya sama sekali tidak berharga.

Bahkan sekarang kasus bunuh diri semakin berkembang dengan adanya pelaku bunuh diri sebelum memulai aksinya menyiapkan kamera untuk merekam aksi bunuh dirinya, bagaimana menurut Anda?

Itu ada unsur lain bukan hanya unsur intrakonitif tetapi juga ingin memberikan hukuman kepada orang-orang lain. Artinya dia tidak hanya ingin menghukum diri sendiri tetapi juga ingin menghukum orang lain .

Kalau dilihat dari jenis kelamin, wanita atau pria yang lebih banyak melakukan tindakan bunuh diri?

Kalau untuk masalah itu saya belum mendapatkan data statistik tentang hal itu. Tapi kalau di Jepang kasus bunuh diri lebih banyak terjadi pada laki-laki karena tuntutan terhadap laki-laki itu sangat besar. Kalau di Indonesia jika wanita lebih besar kasusnya berarti wanita lebih merasa tidak berharga dalam hidupnya.

Berarti belum adanya kesamaan antara wanita dan pria, seperti haknya?

Pada dasarnya wanita dan pria dilahirkan berbeda, kalau dari haknya sama, seperti hak untuk hidup. Mungkin dari berbedanya perlakuan terhadap wanita sehingga dia merasa tidak berharga itu tergantung budaya dan kondisi yang ada. Seperti di Cina anak laki-laki lebih dihargai daripada anak perempuan.

Karena anak laki2 penerus keturunan. Kalau di Indonesia ada yg begitu ada yg tidak.

Di daerah itu kasus bunuh diri lebih besar daripada dikota-kota besar seperti Jakarta, apakah benar seperti itu?

Secara persis saya tidak tahu hal itu. Didaerah itu seperti apa?

Pegunungan misalnya?

Menurut saya bukan daerah pegunungan tetapi daerah pinggiran, suburban itu mungkin karena disitu terjadi dua unsur budaya yang berbeda bercampur sehingga orang tidak mempunyai pegangan sehingga menyebabkan ketika mengalami hambatan tidak ada yg bisa dijadikan patokan sehingga muncul rasa ketidakberdayaan. Mungkin itu yang menyebabkan kasus bunuh diri lebih besar terjadi di daerah daripada dikota besar. Jadi bukan antara daerah pegunungan dengan kota, lebih kepada daerah kampung yang dekat kota kasus bunuh diri terjadi. Jadi ada dua pengaruh yang berbeda yg saling berlawanan antara pengaruh modern dan tradisional.

Bagaimana dengan kasus bom bunuh diri?

Itu juga ada unsur putus asa. Ia menginginkan adanya perbaikan dalam negeri. Dia sudah melakukan berbagai hal tapi ternyata tidak berhasil sehingga timbullah rasa putus asa yang membuat ia bunuh diri walapun ada nilai plusnya seperti jihad masuk surga.

Pesan bagi masyarakat agar bunuh diri tidak lagi menjadi tren?

Kita harus lebih banyak saling menghargai itu yang membuat hidup menjadi lebih nyaman. Kalau kita merasa hidup lebih nyaman maka tidak ada gunanya lagi kita bunuh diri

Setelah baca tulisan di atas, tolong komentarnya ya.........

Makasih.... :)

-galuh-

Bali Dulu dan Sekarang

Panji, Bali Dulu dan Sekarang

Sejauh apapun Panji mampu mengayunkan kaki pergi dari Bali, tapi hatinya selalu tertinggal di Bali tanah kelahirannya. Bali, bagi I Gusti Raka Panji Tisna (42) telah berubah dari kesederhanaan kehidupan agraris ke kehidupan modern, materialistis yang kompleks.

Setelah lulus dari Sekolah Menengah Atas (SMA) tahun 1983, Panji mendapat beasiswa untuk belajar di United World College (UWC), yang waktu itu bernama The Armand Hammer United World College, sekarang berganti nama menjadi United World College of the American West di New Mexico, USA.

“Saat itu saya menjadi wakil pelajar Indonesia untuk belajar dengan anak-anak dari berbagai belahan dunia. Program ini memberi kesempatan kepada anak-anak dari seluruh dunia untuk menempuh pendidikan diploma internasional atau International Baccalaureate, selama dua tahun. Dan untuk bertemu, berbagi pengalaman, serta saling mengenal kebudayaan masing-masing,” tutur Panji.

Setelah lulus dari UWC tahun 1985, Panji melanjutkan sekolah dengan beasiswa di Colorado College jurusan biologi, Colorado-USA. Karena berkuliah di jurusan biologi inilah Panji sangat dekat isu-isu lingkungan dan hutan tropis yang mencuat di Amerika dekade 1980-1990, sehingga akhirnya juga belajar lebih jauh mengambil Master Pendidikan Lingkungan di Australia.

Dan belajar menjadi vegetarian mulai dilakoninya sebagai bentuk pengurangan kekerasan kepada binatang. Serta membuatnya menjadi aktivis lingkungan hidup.

“Saya melihat isu lingkungan secara menyeluruh dan menaruh perhatian pada pendekatan-pendekatan spiritual, mungkin bisa dikatakan sebagai pendekatan Spiritual Ecology atau lebih luas Spiritual and Cultural Ecology,” tutur Panji.

Disela-sela masa perkuliahannya di Colorado College, Panji sempat berkuliah satu semester di Kosta Rika untuk riset ekologi dan botani hutan tropis. Panji lulus tahun 1990 dari Colorado College.

Setelah lulus kuliah, Panji sempat magang di Smithsonian Institute, Departement of Botany, Washington D.C dan Cincinnati Zoo and Botanic Garden selama tiga bulan.

Akhir tahun 1990, Panji kembali ke Indonesia. Sesampainya di Indonesia Panji menjadi asisten Cruise Director dan berkeliling Indonesia bersama kapal pesiar the Spice Island Cruise sekaligus memberikan ceramah tentang budaya dan alam Indonesia sampai tahun 1992.

Pada tahun 1992, Panji ikut mendirikan Yayasan Bambu (Environmental Bamboo Foundation) 1992 untuk pengenalan, riset, pengawetan dan pemakaian bambu hingga akhir tahun 1995. Selama itu ia sempat belajar tentang bambu dan Agroforestry beberapa kali ke Cina dan Thailand.

Juli 1997, Panji mendapatkan beasiswa selama tiga semester di Griffith University, Brisbane, Australia untuk Master Environmental Education.

Sejak 1998, Panji kembali ke Bali dan ikut terlibat dalam berbagai kegiatan yang berhubungan dengan budaya (termasuk silang-budaya dan kesenian), pelestarian lingkungan, spiritualitas, dan kepenulisan.

Bersama dengan seorang Etnolog dari Museum Kebudayaan Basel, Swiss yang telah melakukan riset puluhan tahun di Bali. Panji menjadi penulis dan co-editor buku tentang Bali yang berjudul: Bali Living in Two Worlds yang terbit juga dalam bahasa Indonesia dan Jerman.

“Saya ikut menjadi penulis dan co-editor dalam buku ini. Berkat penulisan buku ini saya diundang berkunjung ke Swiss dua kali, dan pada kesempatan itu saya berkeliling mengunjungi teman-teman di beberapa negara Eropa lainnya,” tutur Panji.

Panji juga terlibat dalam berbagai kegiatan untuk menjaga agar Bali tetap indah dan memajukan masyarakatnya. Seperti kegiatan spiritualitas ala Bali dan ikut dalam padepokan (pasraman) untuk peningkatan spiritualitas dan pemahaman jati diri, kegiatan-kegiatan dialog, pengenalan dan pemahaman lintas agama, budaya dan negara.

“Saya banyak terlibat dengan para seniman, baik tradisional maupun modern, berusaha membantu dan mempromosikan secara positif kegiatan mereka. Dalam beberapa kesempatan mengorganisir misi kesenian Bali, dan mengantar pelukis pameran ke Luar Negeri,” tutur Panji.

Panji juga terlibat dalam berbagai kolaborasi dengan LSM lingkungan di Bali untuk kegiatan peningkatan pengetahuan, pemahaman dan perilaku ramah lingkungan, termasuk sekarang ikut dalam Kolaborasi Bali tentang Perubahan Iklim, ikut dalam delegasi Bali dalam kelompok masyarakat sipil sebagai pengamat di Konferensi termasuk memperkenalkan dalam berbagai forum kearifan lokal Bali (Nusantara) tentang pemeliharaan alam, dan memperkenalkan hari NYEPI (hening) dan mengusulkan agar ada hari Nyepi (hening, silent) sedunia agar mengurangi emisi gas rumah kaca.

Panji juga terlibat dalam kepenulisan (menulis, menerjemahkan, mengedit) dan selalu ikut dalam pertemuan tahunan sebagai pembicara, moderator, atau memberi masukan pada Ubud Writers and Readers Festival. Juga terlibat sebagai Dewan Pengawas yayasan IDEP, sebuah yayasan non-profit Indonesia yang menanggapi kebutuhan mendesak untuk produksi makanan dan pengolahan sumber daya, sambil menyampaikan pentingnya pendidikan lingkungan dan hidup yang berkelangsungan.

Saat ini Panji juga sedang bertugas sebagai observer dari Civil Society Forum Bali yang ikut dalam UN Climate Change Conference, di Nusa Dua Bali.

Panji saat Masa Kecil

Panji lahir di wilayah pedesaan Bali, tepatnya di Desa Marga, Kabupaten Tabanan dalam keluarga petani. Ayahnya, I Gusti Made Tusian adalah seorang yang aktif dalam kancah politik tingkat desa dan kecamatan. Beliau seorang veteran perjuangan kemerdekaan. Pada masa mudanya beliau ikut dalam perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaan di Bali di bawah pimpinan pahlawan nasional I Gusti Ngurah Rai. Ibunya, Mekel Berata sudah meninggal saat Panji berumur 1,5 tahun.

“Setelah kematian istrinya, ayah yang saat itu mungkin berumur awal 40-an sudah ditinggal pergi orang tuanya dan harus mengurus tujuh anak, ayah memutuskan untuk terjun menjadi petani untuk menghidupi anak-anaknya,” tutur Panji.

Panji kecil hidup di pedesaan, mengecap pendidikan Sekolah Dasar di desa. Dalam ingatannya dulu ia tumbuh dalam kehidupan di desa yang sederhana, belum ada listrik, sekolah masih tanpa alas kaki, baru mengenal sandal dan sepatu ketika ia duduk di kelas empat SD.

Sepulang sekolah, banyak pekerjaan rumah yang menantinya. Panji harus menyapu halaman, mencari air minum dan kayu bakar, mencari dan menyiapakan makanan untuk beberapa ekor babi yang dipelihara keluarganya untuk nantinya bisa dijual untuk keperluan kehidupan dan sekolah, membersihkan lampu minyak tanah, dan ikut membantu beberapa keperluan lain yang berhubungan dengan kehidupan di Bali yang lekat dengan ritual dan perayaan keagamaan.

“Saya menghabiskan waktu bermain di sawah, di sungai atau dimana ada kesempatan, melakukan permainan-permainan tradisional anak-anak kadang sampai larut malam kalau lagi bulan purnama, dan juga menonton pertunjukan kalau ada tari-tarian, wayang kulit atau drama tradisional, terkadang hingga subuh,” tutur Panji

Bali Dulu dan Sekarang

Bali saat Panji kecil adalah Bali yang sederhana, terutama di pedesaan, juga di kota Denpasar sekalipun. Alamnya masih bersih, sungai-sungai masih bening, tidak banyak sampah dan polusi.

“Jalan-jalan masih sepi, yang mempunyai mobil dan sepeda motor di desa saya bisa dihitung jari. Makanan tradisional masih banyak ragamnya. Orang-orang tidak terlalu sibuk, ritual-ritual keagamaan masih sederhana. Hubungan kekeluargaan dan bertetangga masih erat dan kental. Hampir tidak ada kriminalitas, dan orang-orang masih kental kejujurannya,” tutur Panji.

Menurut Panji, hal mendasar antara Bali dulu dan Bali sekarang terletak pada perubahan dari kesederhanaan kehidupan agraris ke kehidupan modern, materialistis yang kompleks.

“Masa kecil saya di tahun 70-an adalah masa-masa dimana Bali mulai diarahkan atau mungkin dijebloskan ke hidupan Global, Modern. Pariwisata massal dan Revolusi hijau diperkenalkan. Investasi dan penanaman modal luar dari domestik dan asing mulai sangat gencar dan berlangsung hingga sekarang,” tutur Panji.

Menurut Panji, Bali sekarang secara tampilan fisik sudah sangat berbeda dengan semasa kecilnya dulu. Denpasar, Sanur dan Kuta yang semasanya SMP di akhir tahun 70-an masih lenggang, kini penuh sesak dengan hotel-hotel, pertokoan, perumahan mewah para pendantang berduit (domestik dan asing) dan segelintir orang Bali serta perumahan kumuh para buruh dan kaum tak berduit dari pulau-pulau tetangga.

“Jalan-jalan sesak dengan kendaraan dan sepeda motor. Ada paling tidak satu juta sepeda motor di Bali dan mungkin sekitar 300 ribu mobil. Orang Bali sudah mengenyam kehidupan global, modern, materialistis. Dalam satu keluarga yang mampu secara finansial akan memiliki 2-4 mobil berikut 2-5 sepeda motor. Jumlah yang pada masa kecil saya ada di satu desa, sekarang ada di satu keluarga,” tutur panji.

Meningkatnya pemakaian obat-obatan terlarang dan minuman alkohol terutama di kalangan generasi muda, kasus bunuh diri, dan merebaknya virus HIV/AIDS. Dan perubahan paling drastis dari Bali baginya adalah hilangnya rasa aman dari tindakan kejahatan atau kriminalitas di Bali.

“Saya ingin melihat orang Bali yang menyadari bahwa kepentingan/ketergantungan utama manusia sebagai mahluk biologis adalah untuk mendapat pasokan makan dan air yang memadai, jadi bukan untuk memakai barang-barang bermerk namun menghancurkan alam yang menghidupinya,” tutur Panji.

Bali menghadapi masalah lingkungan karena godaan dan tekanan kapitalisme global demikian kuat. Perlu usaha yang luar biasa untuk membuat orang menyadari kembali hakekat pentingnya hidup selaras dengan alam.

“Orang Bali sudah mengenyam kehidupan global, modern, materialistis. Secara materi tampaknya orang Bali secara umum semakin meningkat. Ritual-ritual keagamaan menjadi semakin heboh. Keluarga-keluarga mampu akan menghabiskan dana ratusan juta bahkan miliaran untuk keperluan ritual,” tutur Panji.

Tetapi, disamping semua perubahan pada Bali dan masyarakatnya nilai-nilai tradisi adat, budaya dan agama warisan leluhur masih sangat dijunjung oleh masyarakat Bali pada umumnya. Sistem kehidupan bermasyarakat masih kental mengikuti aturan-aturan tradisional desa dan hukum adat yang telah diwarisi berabad-abad, walau di kota-kota sekalipun. Masyarakat Bali masih patuh dan setia melakoni apa yang telah dijalani oleh para leluhurnya.

“Orang Bali sangat menghargai leluhur berikut apa yang telah diwariskan. Kenyataan alamiah bahwa kebiasaan ini telah mendarah-daging, sehingga sulit untuk tidak melakukannya. Juga karena ada sanksi adat, sosial, dan perasaan sendiri. Merasa tidak enak hati kalau tidak melakukannya,” tutur Panji.

Disamping itu ada hal yang perlu dikritisi menurut Panji, adalah banyak orang Bali yang menerima saja apa yang diwarisi, dan tidak melakukan usaha sungguh-sunnguh untuk mempelajari, mencari tahu untuk meningkatkan pemahaman tentang apa yang dilakukan, khususnya di bidang keagamaan.

Pada umumnya orang Bali adalah orang yang sangat mensyukuri apa yang mereka miliki dan peroleh, mereka tidak ngoyo mengejar materi. Namun sebagai manusia biasa banyak juga orang Bali yang tergiur godaan-godaan berbagai jenis barang yang ditawarkan Pasar Kapitalisme Global.

Bali di Masa Depan

Bali akan terus berkembang mengikuti perubahan jaman. Manusia akan bertambah banyak di Bali, baik orang Bali, orang Indonesia lainnya maupun orang asing. Tanah tidak bertambah luas dan Sumber Daya Alam (SDA) semakin menyusut. Akan ada persaingan-persaingan, dan akan ada pihak-pihak yang mendominasi dan pihak-pihak terpinggirkan.

Menurut Panji, Bali akan tetap terkenal di mata dunia. Semakin dunia ini mengarah kepada keseragaman, dan itu akan membuat manusia menjadi jemu, sesuatu yang beda akan menjadi incaran, untuk melepas kejemuan. Orang-orang datang ke Bali karena spirit alam Bali memang menyedot mereka untuk datang.

Kehidupan berkesenian-drama, tari, fine art dan utamanya kerawitan—akan tetap hidup dan menginspirasi dunia lain. Akan mulai muncul kelompok-kelompok kecil dengan kearifan spiritual berikut ritual sederhana namun mendalam, pengetahuan tentang ekologi dan wacana global, dan aesthetic yang akan memberi warna baru kehidupan di Bali dan memberi inspirasi kepada dunia.

“Ada sesuatu yang lain di pulau ini di luar tradisi ritual dan budayanya yang memang kaya dan unik. Berbagai konferensi penting berlangsung di Bali, saat ini KTT PBB tentang perubahan iklim. Termasuk juga konferensi, pertemuan global yang bersifat kehidupan alternatif dan spiritualitas,” tutur Panji.

Setelah baca tulisan diatas tolong komentarnya ya......

Makasih. :)

-galuh-

Kamis, 10 Januari 2008

Slamet Raharjo tentang SINETRON

kalau kita lihat dan perhatikan, sepertinya, tayangan televisi sekarangsudah sangat tidak memperhatikan tentang salah satu funsinya, yaitu to educate. kenapa? karna saya melihat, tayangan sekarang lebih kepada untuk menghibur. tidak mendidik sama sekali. saya waktu itu sempat berbincang-bincang sama Slamet Raharjo. dan beliaupun menyetujui hal itu. berikut ini petikan wawancara saya dengan Slamet Raharjo berkaitan dengan dirinya yang terlibat sinetron DTK *Dunia Tanpa Koma(, alasan ia mau main sinetron, dan pandangannya terhadap sinetron sekarang ini.



G : Ini, kita lagi mau ngebicarain tentang DTK. Sebenarnya DTK itu menceritakan tentang apa sih?

SR : DTK itu, pada intinya kehidupan dan kegiatan wartawan baik sebagai pribadi maupun sebagai profesi. Jadi persoalan di rumah dan persoalan profesionalnya jadi tema cerita DTK.

G : Terus sasaran target penontonya, untuk penontonya?

SR : targetnya kalo saya lihat menengah keatas deh. Kalo lihat, bentuk berceriteranya sih saya kira bukan seperti hiburan yang jam tujuh itu.

G : Terus apa alasan anda mau ikut berpartisipasi dalam bermain di DTK?

SR : Satu maksudnya bagus, kedua ceritanya enggak menghayal gitu, dan ketiga sutradaranya juga serius. Terus teman-teman pemainnya juga yang rata-rata bintang film itu serius juga. Jadi ya alasannya sangat kuat untuk saya ikut. Karena saya kan senior di bidang yang serius-serius itu, ya udah saya harus ikut.

G : Lalu visi dan misi dari DTK itu sebenarnya apa?

SR : Visinya itu bahwa media informasi itu menjadi sangat penting. Jadi jangan memberikan informasi yang salah kepada orang, untuk itu diperlukan investigasi yang benar. Nah kebanyakan hari ini orang tidak diajak kepada kebenaran yang hakiki tapi lebih kepada hiburan-hiburan yang dalam hal ini kadang-kadang merupakan problem keseharian kita yang sebenarnya.

G : Lalu bagaimana perasaan anda ketika bermain dengan pemain-pemain yang bisa dikatakan baru?

SR : Ya nggak apa-apa. Di seniman itu nggak ada tua muda. Yang muda bodoh juga banyak yang pinter banyak. Dan juga yang tua yang pinter juga banyak yang bodoh juga banyak. Jadi saya rasa disini bukan masalah tua atau muda, bahwa mereka serius, mereka sungguh-sungguh, mereka apa namanya, ya nggak ada problem saya sama mereka. Kecuali kalo misalnya dia takutlah yang tua, gimana ya, masih bisa menghafal nggak, kan gitu biasanya, karena dianggap udah pikin kali. Tapi enggak, kita juga menunjukkan kelas kita, bahwa yang tua-tua ini belum tentu lebih jelek dari yang muda-muda.

G : Terus apa yang membedakan DTK dengan sinetron-sinetron lainnya?

SR : Bedanya, hiburannya itu semata-mata hiburan dan memang mereka barang dagangan, kalau yang lainnya itu, lebih kadang-kadang yah setan datang nggak jelas. Itu dibuat dengan pemikiran semata-mata adalah hiburan, yang didalamnya itu yang lebih menekankan kepada ndak perlu kebenaran-kebenaran. Yang penting bisa membuat orang senang, bisa membuat orang ketawa. Dan kadang-kadang nggak perlu logika disitu. Itu juga yang membuat keprihatinan kita semua, kok kaya film-film hantu dan segala macam itu begitu luar biasa. Seolah-olah pake Bismillah sekali aja setan ilang. Terus pake doa-doa nggak jelas setan datang. Nah, hal-hal yang kaya gitu saya rasa, kan agama kita nggak serendah itu. Jadi buat kita, tapi itulah hiburan. Itulah dagangan. Nah DTK mungkin tidak ke arah seperti itu.

G : Lalu apakah anda mau lagi jika ada yang menawarkan untuk bermain sinetron?

SR : Lihat ceriteranya. Kalau ceriteranya menarik dan masuk akal, kenapa nggak. Dan sutradaranya penting buat saya. Kalau sutradaranya bagus, ya mau.

G : Ini sudah yang keberapa kalinya anda bermain di sinetron?

SR :Banyak, banyak. Cuma ya memang selalu yang tidak jelas om nggak mau. Saya mau yang jelas-jelas aja. Ya satu hal yang perlu saya ingatkan bahwa nggak bisa disalahin juga kepada orang-orang yang bikin sinetron yang agak ngaco itu, karena ratingnya tinggi. Nah, ratingnya tinggi itu artinya penonton banyak yang suka. Dan kalau penonton banyak yang suka artinya penonton kita masih kaya begitu

G : Masih seperti apa?

SR : Masih ya dalam intelektualitas atau cara berpikirnya masih segitu. Jadi ya masih bisa, misalnya orang pada gila hadiah. Yang nggak ada hadiah orang nggak ditonton. Itu kan jadi masyarakat yang lemah, masyarakat yang hanya menunggu daun jatuh. Dia nggak pernah berpikir mau kreatif.

G : Oiya satu lagi, apa sih yang disebut dengan sinetrin yang baik?

SR : Sinetron yang baik itu sinetron yang bisa membuat masyarakat, penontonnya bertambah wawasannya. Lebih sadar pada lingkungan masyarakatnya. Lebih menghormati bahwa bangsa ini memerlukan anak-anak yang pandai. Dalam hal ini, kalau bangsa ini terlalu banyak anak-anak bodohnya, hancur negara ini.

G : Lalu ada pesen nggak untuk para masyarakat?

SR : Ya ndak, televisi itu keluarga. Keluarga itu antara lain kan kita. Ya, cobalah dipilih mana yang bisa ditinton dan mana yang tidak. Sebab kalau yang jelek nanti nggak ditonton mereka juga berhenti. Tapi kalau tetap ditonton ya mereka bikin terus. Saya rasa itu aja. Jadi saya rasa jika kita sayang pada negeri ini, ya yang jelek-jelek nggak usah ditonton. Kalau misalnya nggak bermanfaat ngapain ditonton. Dan nggak perlulah semua hal itu harus pakai hadiah. Kita ikhtiar donk. Jangan cuma nunggu gitu. kayaknya mentalitas kita lama-lama mentalitas hadiah, artinya nanti kalau nggak ada hadiah nggak mau. Kalau nggak ada hadiah masuk surga ntar nggak ibadah. Jangan dong. Surga dan neraka itu urusan Allah. Ibadah-ibadah aja

terus, sekarang gimana pendapat teman-teman tentang tayangan televisi sekarang, khususnya sinetron. terus,,apakah menurut kalian, kemajuan teknologi juga dapat mempengaruhi kehidupamn masyarakat. disisni kita khususkan pada televisi. apakah kalian setuju jika ada yang mengatakan kalau televisi ada hanya untuk merusak mral bangsa dari program-program yang diberikan?

-gta-

Lourda Hutagalung, Tak Bisa Lepas dari Spa

Diantara teman-teman semua, pasti ada yang sudah tak asing lagi dengan Spa, terutama untuk kaum perempuan. Memang, memanjakan tubuh dan merilekskan badan juga pikiran di Spa adalah salah satu alternatif yang sangat baik untuk kita, terutama yang mempunyai segudang aktifitas dan perlu sekali saat untuk beristirahat. Di daerah Jakarta, ada sebuah Spa yang namanya Gaya Spa. Memang sih, rata-rata yang banyak datang ke Spa ini adalah orang-orang yang sudah bekerja. tidak hanya orang Indonesia lho. tapi juga dari luar negri. berikut ini merupakan profil dari pemilik Gaya Spa, yaitu Lourda hutagalung. semoga saja tulisan dibawah ini bisa memberikan inspirasi pada kita untuk menjadi sukses seperti Lourda Hutagalung ini.

Lourda Hutagalung, merupakan salah seorang pengembang Spa di Indonesia, tepatnya di tengah kota. Ia bergerak di dunia kecantikan ini selama kurang lebih 18 tahun. Karena giatnya menekuni bidang Spa ini, maka usahanya pun semakin berkembang dan maju. Dan akhirnya, ia pun dipercaya sebagai konsultan Spa, baik untuk Indonesia maupun Luar Negeri. Spa yang juga termasuk dalam bidang pariwisata ini juga merupakan penghasil devisa yang cukup besar untuk negara.

Ia bersama teman-temannya yang juga bergerak dalam bidang pariwisata membuat sebuah Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) Pariwisata. Lembaga ini merupakan perpanjangan tangan dari Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP). Mereka juga dipercaya untuk membuat Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI). SKKNI ini dipakai sebagai ukuran standar yang harus dimiliki oleh pekerja sesuai profesinya. Dan pekerja yang sudah memenuhi standar ini bias mendapatkan sertifikat dari LSP untuk bekalnya bekerja di luar negeri, agar bias dihargai dan diakui disana sebagai pekerja profesional. LSP ini terbentuk berangkat dari keprihatinan Lourda terhadap pekerja Indonesia yang kurang dihargai di luar negeri. Lourda sangat menginginkan para pekerja Indonesia, khususnya terapis Spa dapat diakui pula di luar negeri.

“Sebenarnya Lourda adalah orang yang sangat biasa, sama seperti orang pada umumnya, tapi sekarang saya melihat ia adalah perembpuan yang luar biasa. Karena ia sangat giat bekerja dan tekun dalam bekerja, membuat usahanya terus maju. Bahkan, karena usahanya yang maju ini, memberi inspirasi pada orang banyak untuk membuat Spa di Indonesia. Ia pun kemudian dipercaya menjadi konsultan Spa. Dan ia pun mampu memotivasi orang dan mendidik orang agar menjadi lebih baik. Banyak anak buahnya sekarang yang juga menjadi konsultan Spa. Inilah yang membuat ia luuar biasa,” tutur Yoyoh R Tambera, pemilik Samara Spa, yang juga ikut menyusun SKKNI bersama Lourda. “Saya sudah lama mengenalnya. Sejak sama-sama bekerja di Lancome. Yang dulunya ia naik bajai ke kantor, sekarang ia bias naik jaguar miliknya untuk ke Spa-nya,” tambah Yoyoh.

Awalnya Lourda Hutagalung tinggal di daerah Menteng, Jakarta. Ini dianggapnya sebagai kampung halaman pertamanya. Lalu ia pindah ke daerah Kebun Jeruk Jakarta. Yang kemudian dianggapnya sebagai kampung halaman keduanya. “Mungkin, bagi sebagian orang mungkin baik-baik saja, tapi sebenarnya hidupnya tidak gampang-gampang banget,” tutur Lourda.

Ayahnya yang membuka usaha di bidang ekspor-impor timah mengalami pensiun dini. Karena pada waktu itu ayahnya mengalami kerugian. Bisnisnya ditipu, misalnya saja, ada orang yang tidak membayar, ada juga yang memberikan cek kosong. “Kalau bisnis di bidang ini kan jumlah uangnya dalam jumlah besar. Jadi, karena kerugian itu, beliau lama-lama akhirnya mentalnya terserang, jadi down. Karena down akhirnya sampai lama tidak bisa kerja,” jelas anak ke dua dari empat bersaudara ini. Lourda juga mengatakan ayahnya adalah orang yang keras, sedangkan ibunya lebih permisif.

Isteri Budi Dharma Wreksoatmodjo ini pada awalnya kuliah di Universitas Indonesia, dan mengambil Public Relation (PR). Tapi, akhirnya ia lebih memilih ke Marceting Communication. “Setelah lulus saya menyesal. Kenapa harus sekolah PR. Karena menurut saya, capeknya tuh capek yang engga puguh. Engga tahu ya, saya cuma ngerasa saya salah sekolah aja,” kenang Operation Director di PT. Budidharma Dibyaraga ini.

Pemililik Gaya Spa ini pernah juga bekerja di biro iklan. Namun, suaminya memberi saran untuk bekerja menjadi produsen saja daripada di biro iklan. “Akhirnya, saya pindah ke Lancome. Keluar dari Lancome saya bikin salon, tapi gagal karena tidak punya ilmunya,” tutur wanita yang pernah menjadi Project Manager di Lancome ini.

Cikal bakal salonnya sebenarnya masih diteruskan sampai sekarang, yaitu The Stylist. Tapi itu hanya menjadi unit kecil dibandingkan Spa-nya yang sudah berkembang. Karena, menurutnya bisnis salon itu sulit. Dan menurutnya, dunia salon tidak cocok dengan dirinya. “Jadi, saya bisnis ‘saudaranyalah’, yaitu Spa” tutur wanita lulusan Essence Aromatherapy di Melbourne, Australia.

“Pada waktu itu, saya sudah memiliki tiga orang anak. Tapi saya ‘tinggalin’, karena saya berkeliling untuk sekolah. Spa itu kan tidak ada sekolahnya, jadi saya harus ‘belanja’ sedikit disana-sini. Akhirnya saya ke Australia untuk belajar Aromatherapy. Lalu saya ke Hongkong, Singapura, keliling Eropa, Amerika, dan ke Cina,” tambahnya.

Wanita yang lulus dari Joanna Hoare Institute of Aromatherpy di United Kingdom pada Desember 1995 ini juga merupakan pengembang Spa di Indonesia. “Tadinya saya pikir ilmu itu buat saya sendiri. Tapi menurut suami saya, lebih baik membeli tanah, di Wolter Monginsidi. Dan karena saya pikir itu modalnya besar, jadi saya harus konsentrasi. Ternyata karena saya fokus dan detil, juga perfeksionis, akhirnya hasilnya jadi bagus,” jelas wanita yang sudah bergelut di dunia Spa sekitar 18 tahun ini.

“Lalu saya ditawari oleh salah satu General Manager hotel bintang lima untuk membuat Spa terbaik di dunia. Tadinya saya engga mau, tapi ternyata menurut saya pada waktu itu, bayarannya besar, sekian ribu dolar. Jadi saya terima, sekalian buat menambah penghasilan. Dan ternyata Spa-nya menjadi salah satu dari enam Spa terbaik di dunia. Nah, dari situ saya dipakai sebagai consultant untuk membuat Spa di hotel-hotel lain juga. Dan kebanyakan Spa yang saya buat itu menang entah dengan versi apapun, seperti Spa terbaik se-Asia-Pasifik,” tambahnya.

Untuk Spa-nya sendiri, media menilainya sebagai Unbeatable Spa. Walaupun sebenarnya, Lourda sendiri juga belum tahu apa dasarnya media itu bisa menilai. “Mungkin itu dilihat dari banyaknya tamu yang datang. Karena sebenarnya banyak indikator yang ada untuk menilai apakah sebuah Spa itu baik atau tidak,” tuturnya. Semakin kesini, Spa semakin menjamur di Indonesia. Tak hanya di kota besar tapi juga sudah ada di daerah pedesaan. Melihat ralitas ini, Lourda berkata “Mungkin karena orang melihat, wah, bisnis Spa enak. Jadi akhirnya lama-lama pada membuat Spa.”

Dalam menghadapi persaingan yang semakin ketat ini Lourda tak ambil pusing. “Mungkin ada pesaing berat, tapi tidak saya pikirkan. Saya pikir orang-orang di luar sana adalah pesaing. Saya tetap berteman dengan mereka sekaligus saya memastikan diri saya harus lebih baik dari mereka. Ya, on going development culture. Jadi kalau kita merasa diri kita bagus ya sudah. Goodbye. Selamat menggali liang kubur. So you never think that you are doing enough. Keep on doing thing new, criticize yourself, develop yourself. Jadi, sebelum orang lain bilang jeleknya kita, lebih baik kita yang tahu kejelekan kita,” jawabnya santai.

Untuk bisnis yang sudah delapan belas tahun dijalani, hambatan yang muncul adalah kebosanan. “I’m getting old, I’m getting bored. Because it’s too long already I’ve been in this the same thing. And I had my children to raise, I had my management between my work and my house. That’s my problem,” tutur wanita pendiri Essentia Spa Academy ini.

Namun, untuk mengatasi kebosanan ini, ia pun masih belum tahu. Ia masih tetap bertahan. “I don’t know. I can’t help. I’m going to throw up actually, saking bosannya. Tapi ya tetap dijalani. Saya merasa things becoming so much for me. Udah bosan, tapi can’t quit. Saya juga bingung dengan diri saya. Saya sudah bosan, bukannya berhenti, tapi jalan terus. Di satu sisi saya sudah mabuk, tapi di sisi lain saya kok engga berhenti ya,” tuturnya.

Kalau ia sedang jenuh, Budi, suaminyalah yang menguatkan. Begitu pula kalau Lourda sedang lupa waktu karena kerja, suaminya juga yang sering mengingatkan. Selain itu, anak-anaknya, Yohannes Medha Maruli Dharmaputra, Anastasya Anindyauli Dharmaputri, dan Stephanus Dipta Sahala Dharmaputra sangat me-supportnya.

“Mereka tidak pernah protes, malah sms : ’Mam, don’t forget to lunch. I know you are very busy. But plese, take care of your health’. Saya malah mendapat sms kaya gitu dari yang seharusnya saya kasih waktu untuk mereka. Instead of complaining, mereka tetap memerhatikan saya. Jadi saya rasa ini tidak adil. I’m asking their understanding too much. I’m asking their scarification too much. Jadi saya lah yang menertibkan diri. Dinner harus dengan keluarga dan dinner have to be a special moment. Tapi, kalau masih ada pekerjaan yang belum selesai, setelah makan malam, saya mulai lagi sms. Dan akhirnya anak buah saya harus terbiasa untuk menerima sms pada jam dua atau tiga pagi,” jelas Chairman of IndSpa(Indonesia Spa & Naturalist Proffesional Association) ini.

Wanita yang cukup demokratis terhadap anak-anaknya ini merasa senang dalam kehidupannya. Karena ia merasa tidak menjadi orang yang hanya mengurus rumah saja. Tapi hidupnya lebih bervariasi. “Saya merasa exercisse my way of thinking, my skill, my talent to the next level. Semua orang kan dikasih talenta sama Tuhan. Ada yang dipakai, ada yang engga. Dan hadiahnya, saya tidak hanya bisa dipakai, tapi juga exercisse. Jadi, saya merasa hidup ini ada gunanya,” tutur ibu dari tiga orang anak ini.

Walaupun banyak aktifitas yang ia jalani, namun ia tidak mau dibilang sibuk. Ia pun masih tetap memerhatikan keluarganya, terutama anak-anaknya. Dan dalam mendidik anak-anaknya, ia juga mengadopsi cara ibunya dulu. Makanannya sangat diperhatikan, pertumbuhan anak-anaknya, way of thinking, attitude, dan manner sangat diperhatikan. Dan Budi lebih memerhatikan bagian intelektualnya, yaitu sekolahnya.

“Pagi, saya sekedarnya melek untuk melihat anak-anak. Lalu membereskan baju suami. Begitu suami pergi, saya langsung memonitor every unit, every department, every single thing under me.” Jelasnya. “Dulu sih saya gila. Pulang kerja jam setengah sepuluh malam, bahkan kalau ada hal penting bisa sampai jam satu pagi. Dan jam empat pagi harus sudah siap-siap lagi. Tapi kalau sekarang, saya sudah tidak sanggup. Hidup saya tidak benar. Saya korbankan anak-anak untuk sesuatu yang tidak jelas,” tambahnya.

Walaupun sangat padat kegiatannya, lourda tidak pernah mau memperlihatkan hal itu ke orang lain. “Mungkin karena PR function saya. I don’t think people need to know how bleeding you are, how flatting you are, it’s your internal matter. All you need to do to outside people is show them how can you be any help to them. Tapi, lama-lama saya engga kuat. Jadi paling saya cuma bisa nyengir kalau ada orang yang mau ketemu saya,” jelasnya.

Untuk kedepannya wanita lulusan International Federations of Aestheticians di London ini memang meiliki rencana. Tadinya, tiga tahun dari sekarang ia ingin pensiun. Namun melihat aktifitasnya yang padat dan rencana kedepannya, ia tidak yakin bisa pensiun di waktu itu. Untuk usahanya, ia tidak memaksakan anak-anaknya untuk melanjutkan usahanya itu.

“Kalau mereka suka mereka boleh bekerja sebagai professional. Atau saya akan jual company ke orang lain. Tapi, kalo anak-anak mau join boleh. Tapi, kalau saya bisa produce one, they supposed to be able to give three or five. Kalau dibawah mereka begitu-begitu saja, ngapain juga,” tuturnya. “I’don’t appreciate orang yang jadi besar karena orang tuanya. Karena kami berdua (Lourda dan Budi, suaminya) tidak begitu,” tambahnya.
-gta-