Minggu, 13 Januari 2008

Bali Dulu dan Sekarang

Panji, Bali Dulu dan Sekarang

Sejauh apapun Panji mampu mengayunkan kaki pergi dari Bali, tapi hatinya selalu tertinggal di Bali tanah kelahirannya. Bali, bagi I Gusti Raka Panji Tisna (42) telah berubah dari kesederhanaan kehidupan agraris ke kehidupan modern, materialistis yang kompleks.

Setelah lulus dari Sekolah Menengah Atas (SMA) tahun 1983, Panji mendapat beasiswa untuk belajar di United World College (UWC), yang waktu itu bernama The Armand Hammer United World College, sekarang berganti nama menjadi United World College of the American West di New Mexico, USA.

“Saat itu saya menjadi wakil pelajar Indonesia untuk belajar dengan anak-anak dari berbagai belahan dunia. Program ini memberi kesempatan kepada anak-anak dari seluruh dunia untuk menempuh pendidikan diploma internasional atau International Baccalaureate, selama dua tahun. Dan untuk bertemu, berbagi pengalaman, serta saling mengenal kebudayaan masing-masing,” tutur Panji.

Setelah lulus dari UWC tahun 1985, Panji melanjutkan sekolah dengan beasiswa di Colorado College jurusan biologi, Colorado-USA. Karena berkuliah di jurusan biologi inilah Panji sangat dekat isu-isu lingkungan dan hutan tropis yang mencuat di Amerika dekade 1980-1990, sehingga akhirnya juga belajar lebih jauh mengambil Master Pendidikan Lingkungan di Australia.

Dan belajar menjadi vegetarian mulai dilakoninya sebagai bentuk pengurangan kekerasan kepada binatang. Serta membuatnya menjadi aktivis lingkungan hidup.

“Saya melihat isu lingkungan secara menyeluruh dan menaruh perhatian pada pendekatan-pendekatan spiritual, mungkin bisa dikatakan sebagai pendekatan Spiritual Ecology atau lebih luas Spiritual and Cultural Ecology,” tutur Panji.

Disela-sela masa perkuliahannya di Colorado College, Panji sempat berkuliah satu semester di Kosta Rika untuk riset ekologi dan botani hutan tropis. Panji lulus tahun 1990 dari Colorado College.

Setelah lulus kuliah, Panji sempat magang di Smithsonian Institute, Departement of Botany, Washington D.C dan Cincinnati Zoo and Botanic Garden selama tiga bulan.

Akhir tahun 1990, Panji kembali ke Indonesia. Sesampainya di Indonesia Panji menjadi asisten Cruise Director dan berkeliling Indonesia bersama kapal pesiar the Spice Island Cruise sekaligus memberikan ceramah tentang budaya dan alam Indonesia sampai tahun 1992.

Pada tahun 1992, Panji ikut mendirikan Yayasan Bambu (Environmental Bamboo Foundation) 1992 untuk pengenalan, riset, pengawetan dan pemakaian bambu hingga akhir tahun 1995. Selama itu ia sempat belajar tentang bambu dan Agroforestry beberapa kali ke Cina dan Thailand.

Juli 1997, Panji mendapatkan beasiswa selama tiga semester di Griffith University, Brisbane, Australia untuk Master Environmental Education.

Sejak 1998, Panji kembali ke Bali dan ikut terlibat dalam berbagai kegiatan yang berhubungan dengan budaya (termasuk silang-budaya dan kesenian), pelestarian lingkungan, spiritualitas, dan kepenulisan.

Bersama dengan seorang Etnolog dari Museum Kebudayaan Basel, Swiss yang telah melakukan riset puluhan tahun di Bali. Panji menjadi penulis dan co-editor buku tentang Bali yang berjudul: Bali Living in Two Worlds yang terbit juga dalam bahasa Indonesia dan Jerman.

“Saya ikut menjadi penulis dan co-editor dalam buku ini. Berkat penulisan buku ini saya diundang berkunjung ke Swiss dua kali, dan pada kesempatan itu saya berkeliling mengunjungi teman-teman di beberapa negara Eropa lainnya,” tutur Panji.

Panji juga terlibat dalam berbagai kegiatan untuk menjaga agar Bali tetap indah dan memajukan masyarakatnya. Seperti kegiatan spiritualitas ala Bali dan ikut dalam padepokan (pasraman) untuk peningkatan spiritualitas dan pemahaman jati diri, kegiatan-kegiatan dialog, pengenalan dan pemahaman lintas agama, budaya dan negara.

“Saya banyak terlibat dengan para seniman, baik tradisional maupun modern, berusaha membantu dan mempromosikan secara positif kegiatan mereka. Dalam beberapa kesempatan mengorganisir misi kesenian Bali, dan mengantar pelukis pameran ke Luar Negeri,” tutur Panji.

Panji juga terlibat dalam berbagai kolaborasi dengan LSM lingkungan di Bali untuk kegiatan peningkatan pengetahuan, pemahaman dan perilaku ramah lingkungan, termasuk sekarang ikut dalam Kolaborasi Bali tentang Perubahan Iklim, ikut dalam delegasi Bali dalam kelompok masyarakat sipil sebagai pengamat di Konferensi termasuk memperkenalkan dalam berbagai forum kearifan lokal Bali (Nusantara) tentang pemeliharaan alam, dan memperkenalkan hari NYEPI (hening) dan mengusulkan agar ada hari Nyepi (hening, silent) sedunia agar mengurangi emisi gas rumah kaca.

Panji juga terlibat dalam kepenulisan (menulis, menerjemahkan, mengedit) dan selalu ikut dalam pertemuan tahunan sebagai pembicara, moderator, atau memberi masukan pada Ubud Writers and Readers Festival. Juga terlibat sebagai Dewan Pengawas yayasan IDEP, sebuah yayasan non-profit Indonesia yang menanggapi kebutuhan mendesak untuk produksi makanan dan pengolahan sumber daya, sambil menyampaikan pentingnya pendidikan lingkungan dan hidup yang berkelangsungan.

Saat ini Panji juga sedang bertugas sebagai observer dari Civil Society Forum Bali yang ikut dalam UN Climate Change Conference, di Nusa Dua Bali.

Panji saat Masa Kecil

Panji lahir di wilayah pedesaan Bali, tepatnya di Desa Marga, Kabupaten Tabanan dalam keluarga petani. Ayahnya, I Gusti Made Tusian adalah seorang yang aktif dalam kancah politik tingkat desa dan kecamatan. Beliau seorang veteran perjuangan kemerdekaan. Pada masa mudanya beliau ikut dalam perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaan di Bali di bawah pimpinan pahlawan nasional I Gusti Ngurah Rai. Ibunya, Mekel Berata sudah meninggal saat Panji berumur 1,5 tahun.

“Setelah kematian istrinya, ayah yang saat itu mungkin berumur awal 40-an sudah ditinggal pergi orang tuanya dan harus mengurus tujuh anak, ayah memutuskan untuk terjun menjadi petani untuk menghidupi anak-anaknya,” tutur Panji.

Panji kecil hidup di pedesaan, mengecap pendidikan Sekolah Dasar di desa. Dalam ingatannya dulu ia tumbuh dalam kehidupan di desa yang sederhana, belum ada listrik, sekolah masih tanpa alas kaki, baru mengenal sandal dan sepatu ketika ia duduk di kelas empat SD.

Sepulang sekolah, banyak pekerjaan rumah yang menantinya. Panji harus menyapu halaman, mencari air minum dan kayu bakar, mencari dan menyiapakan makanan untuk beberapa ekor babi yang dipelihara keluarganya untuk nantinya bisa dijual untuk keperluan kehidupan dan sekolah, membersihkan lampu minyak tanah, dan ikut membantu beberapa keperluan lain yang berhubungan dengan kehidupan di Bali yang lekat dengan ritual dan perayaan keagamaan.

“Saya menghabiskan waktu bermain di sawah, di sungai atau dimana ada kesempatan, melakukan permainan-permainan tradisional anak-anak kadang sampai larut malam kalau lagi bulan purnama, dan juga menonton pertunjukan kalau ada tari-tarian, wayang kulit atau drama tradisional, terkadang hingga subuh,” tutur Panji

Bali Dulu dan Sekarang

Bali saat Panji kecil adalah Bali yang sederhana, terutama di pedesaan, juga di kota Denpasar sekalipun. Alamnya masih bersih, sungai-sungai masih bening, tidak banyak sampah dan polusi.

“Jalan-jalan masih sepi, yang mempunyai mobil dan sepeda motor di desa saya bisa dihitung jari. Makanan tradisional masih banyak ragamnya. Orang-orang tidak terlalu sibuk, ritual-ritual keagamaan masih sederhana. Hubungan kekeluargaan dan bertetangga masih erat dan kental. Hampir tidak ada kriminalitas, dan orang-orang masih kental kejujurannya,” tutur Panji.

Menurut Panji, hal mendasar antara Bali dulu dan Bali sekarang terletak pada perubahan dari kesederhanaan kehidupan agraris ke kehidupan modern, materialistis yang kompleks.

“Masa kecil saya di tahun 70-an adalah masa-masa dimana Bali mulai diarahkan atau mungkin dijebloskan ke hidupan Global, Modern. Pariwisata massal dan Revolusi hijau diperkenalkan. Investasi dan penanaman modal luar dari domestik dan asing mulai sangat gencar dan berlangsung hingga sekarang,” tutur Panji.

Menurut Panji, Bali sekarang secara tampilan fisik sudah sangat berbeda dengan semasa kecilnya dulu. Denpasar, Sanur dan Kuta yang semasanya SMP di akhir tahun 70-an masih lenggang, kini penuh sesak dengan hotel-hotel, pertokoan, perumahan mewah para pendantang berduit (domestik dan asing) dan segelintir orang Bali serta perumahan kumuh para buruh dan kaum tak berduit dari pulau-pulau tetangga.

“Jalan-jalan sesak dengan kendaraan dan sepeda motor. Ada paling tidak satu juta sepeda motor di Bali dan mungkin sekitar 300 ribu mobil. Orang Bali sudah mengenyam kehidupan global, modern, materialistis. Dalam satu keluarga yang mampu secara finansial akan memiliki 2-4 mobil berikut 2-5 sepeda motor. Jumlah yang pada masa kecil saya ada di satu desa, sekarang ada di satu keluarga,” tutur panji.

Meningkatnya pemakaian obat-obatan terlarang dan minuman alkohol terutama di kalangan generasi muda, kasus bunuh diri, dan merebaknya virus HIV/AIDS. Dan perubahan paling drastis dari Bali baginya adalah hilangnya rasa aman dari tindakan kejahatan atau kriminalitas di Bali.

“Saya ingin melihat orang Bali yang menyadari bahwa kepentingan/ketergantungan utama manusia sebagai mahluk biologis adalah untuk mendapat pasokan makan dan air yang memadai, jadi bukan untuk memakai barang-barang bermerk namun menghancurkan alam yang menghidupinya,” tutur Panji.

Bali menghadapi masalah lingkungan karena godaan dan tekanan kapitalisme global demikian kuat. Perlu usaha yang luar biasa untuk membuat orang menyadari kembali hakekat pentingnya hidup selaras dengan alam.

“Orang Bali sudah mengenyam kehidupan global, modern, materialistis. Secara materi tampaknya orang Bali secara umum semakin meningkat. Ritual-ritual keagamaan menjadi semakin heboh. Keluarga-keluarga mampu akan menghabiskan dana ratusan juta bahkan miliaran untuk keperluan ritual,” tutur Panji.

Tetapi, disamping semua perubahan pada Bali dan masyarakatnya nilai-nilai tradisi adat, budaya dan agama warisan leluhur masih sangat dijunjung oleh masyarakat Bali pada umumnya. Sistem kehidupan bermasyarakat masih kental mengikuti aturan-aturan tradisional desa dan hukum adat yang telah diwarisi berabad-abad, walau di kota-kota sekalipun. Masyarakat Bali masih patuh dan setia melakoni apa yang telah dijalani oleh para leluhurnya.

“Orang Bali sangat menghargai leluhur berikut apa yang telah diwariskan. Kenyataan alamiah bahwa kebiasaan ini telah mendarah-daging, sehingga sulit untuk tidak melakukannya. Juga karena ada sanksi adat, sosial, dan perasaan sendiri. Merasa tidak enak hati kalau tidak melakukannya,” tutur Panji.

Disamping itu ada hal yang perlu dikritisi menurut Panji, adalah banyak orang Bali yang menerima saja apa yang diwarisi, dan tidak melakukan usaha sungguh-sunnguh untuk mempelajari, mencari tahu untuk meningkatkan pemahaman tentang apa yang dilakukan, khususnya di bidang keagamaan.

Pada umumnya orang Bali adalah orang yang sangat mensyukuri apa yang mereka miliki dan peroleh, mereka tidak ngoyo mengejar materi. Namun sebagai manusia biasa banyak juga orang Bali yang tergiur godaan-godaan berbagai jenis barang yang ditawarkan Pasar Kapitalisme Global.

Bali di Masa Depan

Bali akan terus berkembang mengikuti perubahan jaman. Manusia akan bertambah banyak di Bali, baik orang Bali, orang Indonesia lainnya maupun orang asing. Tanah tidak bertambah luas dan Sumber Daya Alam (SDA) semakin menyusut. Akan ada persaingan-persaingan, dan akan ada pihak-pihak yang mendominasi dan pihak-pihak terpinggirkan.

Menurut Panji, Bali akan tetap terkenal di mata dunia. Semakin dunia ini mengarah kepada keseragaman, dan itu akan membuat manusia menjadi jemu, sesuatu yang beda akan menjadi incaran, untuk melepas kejemuan. Orang-orang datang ke Bali karena spirit alam Bali memang menyedot mereka untuk datang.

Kehidupan berkesenian-drama, tari, fine art dan utamanya kerawitan—akan tetap hidup dan menginspirasi dunia lain. Akan mulai muncul kelompok-kelompok kecil dengan kearifan spiritual berikut ritual sederhana namun mendalam, pengetahuan tentang ekologi dan wacana global, dan aesthetic yang akan memberi warna baru kehidupan di Bali dan memberi inspirasi kepada dunia.

“Ada sesuatu yang lain di pulau ini di luar tradisi ritual dan budayanya yang memang kaya dan unik. Berbagai konferensi penting berlangsung di Bali, saat ini KTT PBB tentang perubahan iklim. Termasuk juga konferensi, pertemuan global yang bersifat kehidupan alternatif dan spiritualitas,” tutur Panji.

Setelah baca tulisan diatas tolong komentarnya ya......

Makasih. :)

-galuh-