Kamis, 10 Januari 2008

Kisah Si Pembersih Jalanan

Dinginnya angin masih terasa di tubuh. Udara pun masih segar terasa. Tak terlalu banyak asap di jalan, karena memang belum banyak kendaraan yang berlalu-lalang. Matahari pun belum sepenuhnya muncul di langit. Ketika semua masih terlihat gelap, Yuyu Wahyudin sudah berada di jalanan dengan “bekalnya” setiap hari, sapu lidi besar dan gerobak sampah.

Ujung-ujung sapu lidi itu mulai disentuhkan ke jalanan dan mulai menggeser sampah-sampah yang ada di pinggiran jalan. Setiap hati, dari pukul 05.00 wib sampai pukul 10.00 wib, pria yang memakai baju seragam kuning dari Dinas Kebersihan ini berjalan menelusuri pinggiran jalan perempatan Kopo sampai depan Pasar Caringin. Jalanan yang tadinya penuh dengan sampah yang berserakan, kemudian menjadi lebih bersih dari sebelumnya. Walaupun terkena debu dan bergelut dengan sampah, ia tetap melakukan pekerjaannya itu.

Itulah pekerjaan Yuyu Wahyudin selama sembilan bulan terakhir ini. Demi menghidupi seorang isteri dan tiga orang anaknya, ia harus sabar melakukan pekerjaannya ini. Gajinya tidaklah besar. Hanya Rp320.000 per bulannya. Dengan gaji yang seadanya ini ia harus tetap bisa menghidupi dirinya dan keluarga.

Sebagai pegawai honorer, ia masih beruntung masih dapat menyekolahkan anak-anaknya. Walaupun anak pertanmanya, yang baru saja lulus dari SLTP belum dapat melanjutkan pendidikannnya itu. “Saya tidak ada biaya. Belum cukup untuk melanjutkan sekolah anak saya yang pertama. Adik-adiknya juga masih butuh biaya untuk sekolah. Sekarang anak ke dua saya baru kelas 5 SD, dan yang ke tiga baru kelas 1 SD,” tuturnya.

Dengan gaji yang kecil itu, pastilah sangat sulit untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Karena itu, selain menjadi penyapu jalananan ia pun menjadi penjual sepatu bola keliling. Dan untuk menyalurkan hobinya, terkadang ia mejadi pelatih sepak bola untuk para pedagang di Tegallega. Sambil melatih, ia pun membawa dagangan sepatunya untuk ditawarkan dan dijual pada teman-temannnya itu.

Walaupun pekerjaanya selalu bergelut dengan sampah dan polusi udara, yang dapat mengganggu kesehatannya, sebagai pegawai honorer ia masih belum mendapatkan asuransi kesehatan. “Wah, kalau itu masih belum dapat. Kan saya masih honorer. Mungkin nanti setelah dua tahun bekerja akan ada perubahan. Dan kalau bisa sih gajinya dianikkan lagi lah,” harap pria kelahiran 10 November 1974 ini.

Senasib
Tak jauh berbeda dengan Yuyu, Samsudin juga menghabiskan harinya, sekitar pukul 12 siang hingga 5 sore untuk membersihkan jalanan, dari Parkir Barat Gazibu sampai Arya Jipang. Walaupun ia sudah bekerja menjadi tukang sapu selama 11 tahun terakhir, dan sudah menjadi pegawai tetap, namun gajinya tak terlalu jauh berbeda dengan Yuyu, sebagai pegawai honorer.
Setiap bulannya, pria yang sering dipanggil Udin, mendapatkan gaji sebesar Rp350.000 dari dinas kebersihan. Dan karena ia termasuk pada pegawai yang rajin bekerja, ia mendapat tambahan (insentif) dari Pemerintah Kota Bandung sebesar Rp12.500 setiap hari kerjanya. Dan lebih beruntung lagi, karena ia sudah menjadi pegawai tetap, ia mendapatkan asuransi kesehatan dari kantornya itu.

Walaupun demikian, asuransi kesehatan itu tetap ada batasannya.“Misalnya saja, waktu anak saya sakit batuk, biayanya dari asuransi itu. Tapi waktu saya kena wasir, saya hanya dapat utuk obat saja. Jadi, misalnya biaya Puskesmas adalah Rp.1000.000, maka Rp.50.000 dari kantor, sisanya gratis dari Puskesmas itu. Dan Puskesmasnya juga sudah ditentukan dari kantor,” tutur bapak dua anak ini.

Pria kelahiran 5 Mei 1973 ini mengaku, untuk menhidupi keluarganya dengan gaji yang ia dapatkan sekarang, walaupun ditambah dengan insentif dari Pemerintah Kota Bandung, itu masihlah kurang.

“Untuk makan sehari-hari saja kurang. Belum lagi untuk bayar kontrakkan rumah. Mungkin kalau yang sudah punya rumah, Rp350.000 itu cukup untuk makan sehari-hari saja. Tapi kalau seperti saya, masih belum cukup,” keluhnya. “Jadi, ya di pas-pasin saja. Misalnya gaji saya sudah habis, tapi masih sepuluh hari lagi ke tanggal satu. Paling kalau begini, saya pinjam sana-sini. Nanti kalau sudah gajian, baru saya bayar,” tambahnya.

Pria yang hanya tamatan sekolah dasar ini hanya pasrah sebagai tukang sapu jalanan. Ia tidak memiliki pekerjaan sampingan. Untuk mencari pekerjaan lain ia masih belum tahu. “Paling yang saya bisa lakukan jadi tukang ojek. Kalau untuk menjadi pegawai pabrik, harus menunggu lama lagi untuk dapat gaji besar. Jadi mendingan disini saja dulu. Lagipula disini juga sudah ada perubahan, walaupun sedikit. Di awal saya kerja, gaji saya hanya Rp.66.000, sekarang sudah Rp350.000,” tutur pria yang termasuk golongan 3A itu. Walaupun demikian, ia masih tetap berharap gajinya bisa dinaikkan lagi.

Tak Jauh Berbeda
Selain Yuyu Wahyudin dan Samsudin, ada pula yang bernasib tak jauh berbeda dengan mereka. Aban, pria kelahiran Tegal, 2 Januari 1955 ini sudah menjadi tukang sapu jalanan semenjak tahun 1970. Gajinya sekarang pun hanya Rp600.000 per bulan. Memang terlihat lebih besar dari dua Yuyu dan Udin. Namun, jika dilihat dari lamanya ia sudah mengabdikan diri menjadi tukang sapu jalanan selama 37 tahun, Rp600.000 bukanlah jumlah yang besar.

Setiap harinya, bapak dari tiga orang anak dan kakek dari delapan cucu ini membersihkan jalanan dari depan Bandung Indah Plaza (BIP) sampai rel kereta api dari pukul 11.00 wib hingga pukul 15.00 wib. Itu bukanlah jarak yang dekat, apalagi untuk pria seumuran Pak Aban ini.
Dulunya, ia memang sengaja hijrah ke Bandung untuk mendapatkan hidup yang lebih baik. Namun ternyata, sekarang ia hanyalah sebagai seorang tukang sapu jalanan dengan gaji yang tak terlalu besar. Ketika pertama kali ia ke Bandung, ia bekerja sebagai tukang kuli bangunan, dan hanya Bantu-bantu saja. Dari situ, ia mengenal banyak orang. Dari perkenalannya dengan orang-orang itulah, ia mendapatkan pekerjaan sebagai tukang sapu jalanan.

“Ini mah berarti sudah takdir saya. Lagipula saya juga tidak punya ijazah apa-apa. Jadi sudah untunglah bisa menjadi tukang sapu jalanan seperti sekarang,” tuturnya. “Cuma yang bikin saya paling sedih adalah ketika saya pulang ke rumah, dan ada cucu yang bertanya, aki bawa apa? Dan ternyata saya tidak bisa membawakan mereka apa-apa. Itu yang bua saya sangat sedih,” tambahnya.

Walaupun demikian, ia tak berharap jika gajinya dapat naik lagi. Ia hanya pasrah dengan kehidupannya yang sekarang. Beruntung dari ketiga anaknya itu, dua diantaranya sudah bekerja di kantoran, walaupun sebagai Office Boy. “Mereka kan lulusan SMA, jadi lumayanlah bisa kerja di kantoran. Walaupun anak saya yang terakhir belum dapat kerja. Tapi cukup saya saja yang capek jadi tukang sapu jalanan, anak saya jangan lagi merasakan ini,” tutur Aban.

Teori Ikan Busuk
Melihat realitas hidup yang seperti ini, Edi Suharto, PhD, direktur program pascasarjana spesialis Pekerjaan Sosial (SPI) Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial (STKS) Bandung ini angkat bicara.

Menurutnya pertama, dari segi kesejahteraan. Bagaimanapun gaji tukang sapu sebesar itu sangatlah kecil. Itu jauh dibawah Upah Minimum Regional (UMR). Seharusnya, kalau tukang sapu itu bekerja dibawah pemerintah, gajinya mengikuti upah standar minimum.

“Untuk mencapai kesejahteraan sosial, yang pertama harus dinaikkan dulu adalah gajinya. Karena bagaimanapun juga, gaji sekecil itu tidak layak untuk kemanusiaan. Yang kedua, jika ia masih bersifat honorer, pemerintah harus mengusahakan skema-skema lain terutama bukan hanya dari gaji saja, tapi juga perlindungan sosial, seperti asuransi kesehatan, keselamatan kerja. Ini semua tetap harus diperhatikan. Karena asuransi kesehatan dan jaminan hidup itu diberikan kepada seluruh warga negara, tanpa diskriminasi. Baik ia bekerja di sektor formal maupun informal, karena itu amanat konstitusi. Ini harus diperhatikan, agar pemerintah dapat mengusahakan kesejahteraan sosialnya,” tutur pria kelahiran Majalengka, 6 November 1965 itu.
Dan Bapak dari tiga orang anak ini pun berkata karena tukang sapu merupakan pekerjaan yang lemah, dan standar upah minimum di Indonesia belum beres, terutama untuk sektor informal, pemerintah tidak bisa ditagih. Karena memang belum ada undang-undang yang menetapkan UMR untuk sektor informal. Sehingga mereka (seperti tukang sapu-red) belum terlindungi. “Tapi ini keliru. Tidak adanya undang-undang sebenarnya tidak boleh menjadi alasan bagi pemerintah untuk tidak membantu sektor informal,” tutur alumnus Massey University, Palmerston North, New Zealand, Ph.D dalam bidang Development Studies.

Masih menurut pria yang menjadi ahli kebijakan sosial (social policy expert) yang di kontrak oleh Galway Development Service International (GDSI) Irlandia ini, pemerintah belum sama sekali mengusahakan kesejahteraan sosial bagi masyarakat. Mereka hanya bisa memberikan gaji yang minimal sekali. Karena mungkin pemerintah berpikir, jangankan sektor informal, sektor formal saja masih jelek kesejahteraannya. Jadi menurutnya, ini adalah konteks makro. Di Indonesia masih belum memperhatikan investasi sumber daya manusia.

Jadi kita harus bisa membangunkan pemerintah. “Kita, terutama kalangan akademisi dan LSM harus bisa memporomosikan hak azazi manusia, hak-hak dasar manusia. Tukang sapu, adalah bagian warga negara yang lemah. Dan mereka sebenarnya mempunyai hak-hak juga. Namun ini belum disadari oleh tukang sapu itu sendiri dan pemerintah. Ada yang disebut sosial ekonomi atau ecosoc. Jadi setiap warga negara harus memiliki kehidupan yang layak,” tutur penulis buku Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat: Kajian Strategis Pembangunan Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial (Developing Community Empowering People: Strategic Analysis on Social Welfare Development and Social Work) (second edition), Bandung: Refika Aditama (2006)

Lalu, dengan masalah fenomena perpindahan penduduk dari desa ke kota adalah merupakan hal yang wajar. “Urbanisasi bukanlah hanya perpindahan dari desa ke kota, tapi proses pengkotaan sebuah wilayah, baik disebabkan oleh perpindahan penduduk dari desa kle kota maupun oleh natural birth atau kelahiran di kota itu sendiri. Urbanisasi itu dilihat dari jumlah penduduk dan banyaknya fasilitas perkotaan,” jelasnya.

“Ini memang umum terjadi di negara berkembang. Karena dalam teori ekonomi ada yang disebut push and pull factor. Atau faktor pendorong dan faktor penarik. Jadi selama faktor itu ada, maka selama itu pula migrasi akan terjadi. Kalau semua fasilitas ada di kota itu, pasti orang-orang pun akan tertarik untuk datang ke kota itu. Karena didaerahnya juga belum tersedia apa-apa. Ini adalah naluriah, tidak boleh disalahkan,” tambahnya.

Menurut Master of Science in Rural and Regional DevelopmentPlanning, Asian Institute of Technology (AIT), Bangkok, Thailand ini, yang bisa dilakukan untuk mencapai kesejahteraan sosial ini adalah mendistribusikan growth pole dalam strategi pembangunan. Titik-titik pertumbuhan harus merata. Yaitu adalah faktor ekonomi, pendidikan, kemudian sosial budaya. Jadi jangan hanya dipusatkan pada pulu jawa dan Jakarta.

Namun sayangnya, growth pole ini belum dilakukan sama sekali. “Sekarang uang yang beredar 60% masih di Jakarta dan Jawa. Masalah ini kalau tidak diatasi, kita tidak akan mencapai kesejahteraan. Saya lihat di Amerika, Selandia Baru dan negara-negara barat lainnya, masyarakatnya gajinya tidak kecil. Karena memang disana tidak boleh ada ketimpangan yang besar. Gajinya memang harus beda, tapi tidak boleh terlalu jauh berbeda. Untuk tukang sapu, tukang cuci piring, dan yang sejenisnya, gajinya bisa 10 dolar per hari,” kata pria yang memang sering tinggla di beberapa daerah di luar neger, seperti Selandia Baru dan Bangkok.
Pertumbuhan ekonomi harus diperbaiki. secara cepat dan bertahap, Fungsi-fungsi Jakarta dan di Jawa harus didelegasikan ke daerah. “Dan saya lihat, memang upaya-upaya desentralisasi ini sudah mulai ada. Tapi jangan hanya disitu saja,” tuturnya.

Menurut Edi, dibalik kesemrautan kota dan kemiskinan masyarakat ini, penyebabnya adalah masih terjadinya KKN. KKN harus diberantas harus dari pemetrintah dulu. Maka masyarakat pun nanti akan mengekor. “Ini seperti ’Teori Ikan Busuk”. Ikan kan kalau busuk kepalanya dulu. Jadi pemerintahlah yang harus dibenahi terlebih dahulu. Karena korupsi itu benar-benar bisa membunuh bangsa,” tambahnya.
Edi Suharto berharap agar visi pembangunan harus diperbaiki dulu. Visi pembangunan harus integratif, harus jelas. Kita mau jadi bangsa seperti apa dan kapan kita akan mencapai posisi seperti itu. Lalu harus ada komitmen dan tekad dari pemerintah dan juga seluruh komponen bangsa. Dan ini harus istiqomah. Tidak boleh tergoda apapun. Berikutnya adalah harus ada transparansi. Ini termasuk pada good governance, tata pemerintahan yang baik. Jadi harus dapat terbuka. Pemerintah harus mau diawasi dan dikritisi. Maka kontrol sosial haruslah berjalan.

jadi, apakah temen-temen juga setuju dengan apa yang dikatakanPak edi diatas?
bagaimana tanggapan kalian mengenai masalah kehidupan ini?
-gta-