Kamis, 10 Januari 2008

Lourda Hutagalung, Tak Bisa Lepas dari Spa

Diantara teman-teman semua, pasti ada yang sudah tak asing lagi dengan Spa, terutama untuk kaum perempuan. Memang, memanjakan tubuh dan merilekskan badan juga pikiran di Spa adalah salah satu alternatif yang sangat baik untuk kita, terutama yang mempunyai segudang aktifitas dan perlu sekali saat untuk beristirahat. Di daerah Jakarta, ada sebuah Spa yang namanya Gaya Spa. Memang sih, rata-rata yang banyak datang ke Spa ini adalah orang-orang yang sudah bekerja. tidak hanya orang Indonesia lho. tapi juga dari luar negri. berikut ini merupakan profil dari pemilik Gaya Spa, yaitu Lourda hutagalung. semoga saja tulisan dibawah ini bisa memberikan inspirasi pada kita untuk menjadi sukses seperti Lourda Hutagalung ini.

Lourda Hutagalung, merupakan salah seorang pengembang Spa di Indonesia, tepatnya di tengah kota. Ia bergerak di dunia kecantikan ini selama kurang lebih 18 tahun. Karena giatnya menekuni bidang Spa ini, maka usahanya pun semakin berkembang dan maju. Dan akhirnya, ia pun dipercaya sebagai konsultan Spa, baik untuk Indonesia maupun Luar Negeri. Spa yang juga termasuk dalam bidang pariwisata ini juga merupakan penghasil devisa yang cukup besar untuk negara.

Ia bersama teman-temannya yang juga bergerak dalam bidang pariwisata membuat sebuah Lembaga Sertifikasi Profesi (LSP) Pariwisata. Lembaga ini merupakan perpanjangan tangan dari Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP). Mereka juga dipercaya untuk membuat Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI). SKKNI ini dipakai sebagai ukuran standar yang harus dimiliki oleh pekerja sesuai profesinya. Dan pekerja yang sudah memenuhi standar ini bias mendapatkan sertifikat dari LSP untuk bekalnya bekerja di luar negeri, agar bias dihargai dan diakui disana sebagai pekerja profesional. LSP ini terbentuk berangkat dari keprihatinan Lourda terhadap pekerja Indonesia yang kurang dihargai di luar negeri. Lourda sangat menginginkan para pekerja Indonesia, khususnya terapis Spa dapat diakui pula di luar negeri.

“Sebenarnya Lourda adalah orang yang sangat biasa, sama seperti orang pada umumnya, tapi sekarang saya melihat ia adalah perembpuan yang luar biasa. Karena ia sangat giat bekerja dan tekun dalam bekerja, membuat usahanya terus maju. Bahkan, karena usahanya yang maju ini, memberi inspirasi pada orang banyak untuk membuat Spa di Indonesia. Ia pun kemudian dipercaya menjadi konsultan Spa. Dan ia pun mampu memotivasi orang dan mendidik orang agar menjadi lebih baik. Banyak anak buahnya sekarang yang juga menjadi konsultan Spa. Inilah yang membuat ia luuar biasa,” tutur Yoyoh R Tambera, pemilik Samara Spa, yang juga ikut menyusun SKKNI bersama Lourda. “Saya sudah lama mengenalnya. Sejak sama-sama bekerja di Lancome. Yang dulunya ia naik bajai ke kantor, sekarang ia bias naik jaguar miliknya untuk ke Spa-nya,” tambah Yoyoh.

Awalnya Lourda Hutagalung tinggal di daerah Menteng, Jakarta. Ini dianggapnya sebagai kampung halaman pertamanya. Lalu ia pindah ke daerah Kebun Jeruk Jakarta. Yang kemudian dianggapnya sebagai kampung halaman keduanya. “Mungkin, bagi sebagian orang mungkin baik-baik saja, tapi sebenarnya hidupnya tidak gampang-gampang banget,” tutur Lourda.

Ayahnya yang membuka usaha di bidang ekspor-impor timah mengalami pensiun dini. Karena pada waktu itu ayahnya mengalami kerugian. Bisnisnya ditipu, misalnya saja, ada orang yang tidak membayar, ada juga yang memberikan cek kosong. “Kalau bisnis di bidang ini kan jumlah uangnya dalam jumlah besar. Jadi, karena kerugian itu, beliau lama-lama akhirnya mentalnya terserang, jadi down. Karena down akhirnya sampai lama tidak bisa kerja,” jelas anak ke dua dari empat bersaudara ini. Lourda juga mengatakan ayahnya adalah orang yang keras, sedangkan ibunya lebih permisif.

Isteri Budi Dharma Wreksoatmodjo ini pada awalnya kuliah di Universitas Indonesia, dan mengambil Public Relation (PR). Tapi, akhirnya ia lebih memilih ke Marceting Communication. “Setelah lulus saya menyesal. Kenapa harus sekolah PR. Karena menurut saya, capeknya tuh capek yang engga puguh. Engga tahu ya, saya cuma ngerasa saya salah sekolah aja,” kenang Operation Director di PT. Budidharma Dibyaraga ini.

Pemililik Gaya Spa ini pernah juga bekerja di biro iklan. Namun, suaminya memberi saran untuk bekerja menjadi produsen saja daripada di biro iklan. “Akhirnya, saya pindah ke Lancome. Keluar dari Lancome saya bikin salon, tapi gagal karena tidak punya ilmunya,” tutur wanita yang pernah menjadi Project Manager di Lancome ini.

Cikal bakal salonnya sebenarnya masih diteruskan sampai sekarang, yaitu The Stylist. Tapi itu hanya menjadi unit kecil dibandingkan Spa-nya yang sudah berkembang. Karena, menurutnya bisnis salon itu sulit. Dan menurutnya, dunia salon tidak cocok dengan dirinya. “Jadi, saya bisnis ‘saudaranyalah’, yaitu Spa” tutur wanita lulusan Essence Aromatherapy di Melbourne, Australia.

“Pada waktu itu, saya sudah memiliki tiga orang anak. Tapi saya ‘tinggalin’, karena saya berkeliling untuk sekolah. Spa itu kan tidak ada sekolahnya, jadi saya harus ‘belanja’ sedikit disana-sini. Akhirnya saya ke Australia untuk belajar Aromatherapy. Lalu saya ke Hongkong, Singapura, keliling Eropa, Amerika, dan ke Cina,” tambahnya.

Wanita yang lulus dari Joanna Hoare Institute of Aromatherpy di United Kingdom pada Desember 1995 ini juga merupakan pengembang Spa di Indonesia. “Tadinya saya pikir ilmu itu buat saya sendiri. Tapi menurut suami saya, lebih baik membeli tanah, di Wolter Monginsidi. Dan karena saya pikir itu modalnya besar, jadi saya harus konsentrasi. Ternyata karena saya fokus dan detil, juga perfeksionis, akhirnya hasilnya jadi bagus,” jelas wanita yang sudah bergelut di dunia Spa sekitar 18 tahun ini.

“Lalu saya ditawari oleh salah satu General Manager hotel bintang lima untuk membuat Spa terbaik di dunia. Tadinya saya engga mau, tapi ternyata menurut saya pada waktu itu, bayarannya besar, sekian ribu dolar. Jadi saya terima, sekalian buat menambah penghasilan. Dan ternyata Spa-nya menjadi salah satu dari enam Spa terbaik di dunia. Nah, dari situ saya dipakai sebagai consultant untuk membuat Spa di hotel-hotel lain juga. Dan kebanyakan Spa yang saya buat itu menang entah dengan versi apapun, seperti Spa terbaik se-Asia-Pasifik,” tambahnya.

Untuk Spa-nya sendiri, media menilainya sebagai Unbeatable Spa. Walaupun sebenarnya, Lourda sendiri juga belum tahu apa dasarnya media itu bisa menilai. “Mungkin itu dilihat dari banyaknya tamu yang datang. Karena sebenarnya banyak indikator yang ada untuk menilai apakah sebuah Spa itu baik atau tidak,” tuturnya. Semakin kesini, Spa semakin menjamur di Indonesia. Tak hanya di kota besar tapi juga sudah ada di daerah pedesaan. Melihat ralitas ini, Lourda berkata “Mungkin karena orang melihat, wah, bisnis Spa enak. Jadi akhirnya lama-lama pada membuat Spa.”

Dalam menghadapi persaingan yang semakin ketat ini Lourda tak ambil pusing. “Mungkin ada pesaing berat, tapi tidak saya pikirkan. Saya pikir orang-orang di luar sana adalah pesaing. Saya tetap berteman dengan mereka sekaligus saya memastikan diri saya harus lebih baik dari mereka. Ya, on going development culture. Jadi kalau kita merasa diri kita bagus ya sudah. Goodbye. Selamat menggali liang kubur. So you never think that you are doing enough. Keep on doing thing new, criticize yourself, develop yourself. Jadi, sebelum orang lain bilang jeleknya kita, lebih baik kita yang tahu kejelekan kita,” jawabnya santai.

Untuk bisnis yang sudah delapan belas tahun dijalani, hambatan yang muncul adalah kebosanan. “I’m getting old, I’m getting bored. Because it’s too long already I’ve been in this the same thing. And I had my children to raise, I had my management between my work and my house. That’s my problem,” tutur wanita pendiri Essentia Spa Academy ini.

Namun, untuk mengatasi kebosanan ini, ia pun masih belum tahu. Ia masih tetap bertahan. “I don’t know. I can’t help. I’m going to throw up actually, saking bosannya. Tapi ya tetap dijalani. Saya merasa things becoming so much for me. Udah bosan, tapi can’t quit. Saya juga bingung dengan diri saya. Saya sudah bosan, bukannya berhenti, tapi jalan terus. Di satu sisi saya sudah mabuk, tapi di sisi lain saya kok engga berhenti ya,” tuturnya.

Kalau ia sedang jenuh, Budi, suaminyalah yang menguatkan. Begitu pula kalau Lourda sedang lupa waktu karena kerja, suaminya juga yang sering mengingatkan. Selain itu, anak-anaknya, Yohannes Medha Maruli Dharmaputra, Anastasya Anindyauli Dharmaputri, dan Stephanus Dipta Sahala Dharmaputra sangat me-supportnya.

“Mereka tidak pernah protes, malah sms : ’Mam, don’t forget to lunch. I know you are very busy. But plese, take care of your health’. Saya malah mendapat sms kaya gitu dari yang seharusnya saya kasih waktu untuk mereka. Instead of complaining, mereka tetap memerhatikan saya. Jadi saya rasa ini tidak adil. I’m asking their understanding too much. I’m asking their scarification too much. Jadi saya lah yang menertibkan diri. Dinner harus dengan keluarga dan dinner have to be a special moment. Tapi, kalau masih ada pekerjaan yang belum selesai, setelah makan malam, saya mulai lagi sms. Dan akhirnya anak buah saya harus terbiasa untuk menerima sms pada jam dua atau tiga pagi,” jelas Chairman of IndSpa(Indonesia Spa & Naturalist Proffesional Association) ini.

Wanita yang cukup demokratis terhadap anak-anaknya ini merasa senang dalam kehidupannya. Karena ia merasa tidak menjadi orang yang hanya mengurus rumah saja. Tapi hidupnya lebih bervariasi. “Saya merasa exercisse my way of thinking, my skill, my talent to the next level. Semua orang kan dikasih talenta sama Tuhan. Ada yang dipakai, ada yang engga. Dan hadiahnya, saya tidak hanya bisa dipakai, tapi juga exercisse. Jadi, saya merasa hidup ini ada gunanya,” tutur ibu dari tiga orang anak ini.

Walaupun banyak aktifitas yang ia jalani, namun ia tidak mau dibilang sibuk. Ia pun masih tetap memerhatikan keluarganya, terutama anak-anaknya. Dan dalam mendidik anak-anaknya, ia juga mengadopsi cara ibunya dulu. Makanannya sangat diperhatikan, pertumbuhan anak-anaknya, way of thinking, attitude, dan manner sangat diperhatikan. Dan Budi lebih memerhatikan bagian intelektualnya, yaitu sekolahnya.

“Pagi, saya sekedarnya melek untuk melihat anak-anak. Lalu membereskan baju suami. Begitu suami pergi, saya langsung memonitor every unit, every department, every single thing under me.” Jelasnya. “Dulu sih saya gila. Pulang kerja jam setengah sepuluh malam, bahkan kalau ada hal penting bisa sampai jam satu pagi. Dan jam empat pagi harus sudah siap-siap lagi. Tapi kalau sekarang, saya sudah tidak sanggup. Hidup saya tidak benar. Saya korbankan anak-anak untuk sesuatu yang tidak jelas,” tambahnya.

Walaupun sangat padat kegiatannya, lourda tidak pernah mau memperlihatkan hal itu ke orang lain. “Mungkin karena PR function saya. I don’t think people need to know how bleeding you are, how flatting you are, it’s your internal matter. All you need to do to outside people is show them how can you be any help to them. Tapi, lama-lama saya engga kuat. Jadi paling saya cuma bisa nyengir kalau ada orang yang mau ketemu saya,” jelasnya.

Untuk kedepannya wanita lulusan International Federations of Aestheticians di London ini memang meiliki rencana. Tadinya, tiga tahun dari sekarang ia ingin pensiun. Namun melihat aktifitasnya yang padat dan rencana kedepannya, ia tidak yakin bisa pensiun di waktu itu. Untuk usahanya, ia tidak memaksakan anak-anaknya untuk melanjutkan usahanya itu.

“Kalau mereka suka mereka boleh bekerja sebagai professional. Atau saya akan jual company ke orang lain. Tapi, kalo anak-anak mau join boleh. Tapi, kalau saya bisa produce one, they supposed to be able to give three or five. Kalau dibawah mereka begitu-begitu saja, ngapain juga,” tuturnya. “I’don’t appreciate orang yang jadi besar karena orang tuanya. Karena kami berdua (Lourda dan Budi, suaminya) tidak begitu,” tambahnya.
-gta-