Minggu, 13 Januari 2008

Jika TV Lebih Memilih Rating Daripada Kualitas Programnya

Jika TV Lebih Memilih Rating Daripada Kualitas Programnya

TV adalah sebuah media yang berjenis elektronik. Berbeda dengan media lainnya, seperti koran dan radio. TV dapat audiens nikmati dalam bentuk audio dan visual. Dulu program-program di TV hanya tampil dalam warna hitam putih. Seiring berkembangnya teknologi, “sikotak ajaib” ini semakin canggih dan dapat dinikmati dimana saja, bahkan dimobil sekalipun. TV juga sudah sangat populer disemua kalangan masyarakat. Tidak hanya dikota-kota besar saja TV ada, bahkan dipelosok desapun TV sudah terkenal. Semua jenis usia dapat menikmati mulai dari anak-anak sampai orang tua.

Berbagai program ditampilkan oleh TV. Mulai dari berita, kartun, kuliner, lifestyle dan sebagainya. Dulu tahun 1980-an hanya ada satu stasiun yaitu TVRI milik pemerintah. Seiring berkembangnya waktu dan jaman maka muncullah berbagai stasiun televisi milik swasta baik yang mengudara secara nasional maupun lokal, seperti RCTI, SCTV, ANTV, INDOSIAR, Trans TV, TV 7, Global TV, O Channel, La Tivi, dan masih banyak lagi.

Dengan kemudahan untuk menikmati sajian program-program televisi dan berbagai kalangan dan usia bisa menikmati serta semakin banyaknya stasiun televisi yang terus bermunculan, seharusnya stasiun televisi yang ada di Indonesia bisa mencerdaskan bangsa bukan menjerumuskan bangsa dan terus menjaga kualitasnya. Jangan hanya melakukan pendewaan terhadap rating saja.

Dulu, setiap pukul 21.00 adalah waktunya program berita mengudara disemua stasiun TV. Pembagian program-program untuk setiap usia juga sangat jelas waktunya. Sekarang, hal seperti itu tidak ada lagi. Sepertinya saat ini, semua stasiun televisi berlomba-lomba meningkatkan rating tanpa memperhatikan kualitas dari program-program yang ditayangkan kepada audiensnya. Seperti banyak sinetron yang bermunculan ditayangkan disetiap stasiun televisi. Saya melihat sinetron yang ditampilkan, hanya menayangkan kehidupan kota besar yang gemerlap, hedonisme yang amat sangat, gaya hidup yang menyimpang dan banyak hal negatif lainnya. Bahkan, saya pernah melihat disebuah stasiun televisi swasta, menampilkan sebuah tayangan sinetron yang saat itu menayangkan adegan seorang anak smp bersama teman-temannya sedang berpesta heroin. Bahkan, dia mengajarkan kepada salah satu temannya untuk mencobanya. Sinetron itu ditayangkan sekitar pukul 19.30, saat dimana semua orang bisa menonton, bahkan anak-anakpun dapat menyaksikan. Bagaimana jika audiensnya anak-anak yang menganggap adegan itu benar? Saat itu saya bertanya, apa yang ada didalam pikiran sipembuat sinetron tersebut dan apa yang ada dalam pikiran pengelola stasiun televisi swasta tersebut untuk menayangkan sinetron itu.

Lagi-lagi alasannya adalah rating. Akibat pendewaan terhadap rating inilah kemudian muncul produksi sinetron kejar tayang. Produksi dilakukan secara cepat untuk mengantisipasi rating. Kualitas sinetron pun akhirnya diabaikan. Dilihat dari ceritanya sendiri, kebanyakan sinetron menggunakan resep yang hampir sama yaitu persoalan cinta yang ruwet dengan intrik keluarga dan perselingkuhan.

Kehidupan keluarga yang ada dalam sinetron seperti dalam mimpi. Di tengah krisis ekonomi dan politik yang melanda, kemewahan dalam sinetron menjadi hal yang biasa. Keluarga yang kaya raya, figur yang cantik dan tampan, perusahaan milik keluarga, rumah mewah, mobil mewah, baju mahal, belanja berlebihan, restoran mewah, handphone merupakan atribut visual yang seolah menjadi keharusan. Tanpa perduli dengan karakter tokoh yang dimainkan.

Selain tidak realistik, kebanyakan sinetron menggambarkan perempuan dan laki-laki secara stereotip. Perempuan digambarkan sebagai sosok yang lemah, cengeng, tertindas, tidak mandiri dan tergantung laki-laki. Sementara laki-laki digambarkan sebagai sosok yang kuat, tegar, mempunyai kekuasaan, mandiri dan melindungi. Kecengengan perempuan ini ditampakkan dengan banyaknya adegan menangis yang hampir merupakan adegan wajib bagi perempuan. Perempuan juga hampir selalu diposisikan dalam ruang yang terbatas yaitu ruang domestik. Perempuan yang berada di sektor publik hanya digambarkan bekerja di kantor sebagai status saja, sementara ceritanya masih berkutat pada masalah cinta maupun ruang domestiknya.

Ada lagi program acara sinetron bertema religi. Kalau tidak salah, sinetron bertema religi itu dimulai saat bulan Ramadhan. Awalnya memang sangat bertema religi, tapi lama kelamaan hanya ada kisah mistik dan kekerasan yang dihadirkan didalamnya. Seperti disalah satu episodenya, ditampilkan adegan seorang anak yang mendorong ibunya sampai tersungkur dilantai. Lagi-lagi, karena alasan rating program-program yang penuh dengan adegan mistik dan kekerasan terus ditayangkan bahkan sudah hampir semua stasiun televisi menayangkannya.

Lalu ada lagi program acara yang bertema mistik. Yang menampilkan adegan-adegan sekelompok orang sedang mengusir hantu disuatu rumah atau bangunan. Dan stasiun TV tersebut menayangkan seharinya bisa lebih dari dua kali. Apakah itu mengajak audiensnya menjadi paranoid. Tapi anehnya ratingnya terus meningkat.

Program berita kriminalpun sudah “ikut membantu” masyarakat untuk berbuat kekerasan. Kejadian kriminal dengan sangat terbuka ditayangkan, seperti bagaimana cara orang itu membunuh atau merampok. Apakah itu tidak akan memberikan “jalan” bagi masyarakat lainya untuk ikut juga berbuat kriminal.

Sekarang juga terus bermunculan program kuis dengan hadiah milyaran rupiah. Disana seperti ditampilkan orang yang dengan mudahnya menjadi jutawan atau milyuner. Apakah itu sama saja mengajarkan masyarakat untuk berpikiran “Ah, ngapain kerja cape-cape dan sekolah tinggi untuk menjadi orang kaya, ikut kuis saja sudah bisa jadi jutawan atau milyuner”. Bukankah itu sama saja mengajarkan kepada masyarakat untuk menjadi malas dan tidak mau bersekolah. Alasannya lagi-lagi rating yang tinggi.

Label penunjuk untuk siapa tayangan ini disiarkan yang terdapat pada layar kaca, seperti bimbingan orang tua (BO), dewasa (DW), dan semua umur (SU). Sepertinya tidak ada gunannya, tetap saja anak-anak bisa menonton program untuk dewasa. Seperti salah satu kasus, yaitu meninggalnya seorang anak karena meniru adegan smack down dari televisi. Walaupun sudah ada label DW tetap saja banyak anak-anak yang menonton sehingga menjadi korban dari tayangan tersebut. Siapa yang bisa melarang? orang tua sudah letih bekerja seharian penuh, sampai dirumah hanya mendampingi anaknya sampai setengah malam, lalu sisa malamnya anak-anak bisa bebas menonton acara TV kesukaan mereka. Bahkan sekarang banyak orangtua yang menyediakan TV untuk anak-anaknya dikamar mereka masing-masing.

Moral bangsa kita semakin hancur, ironisnya yang membantu menghancurkannya adalah media televisi yang seharusnya menjadi media yang turut serta memajukan bangsa. Dengan alasan rating, program-program berbau kekerasan, sex, mistik, hedonisme, dan gemerlap kehidupan serta mudahnya mendapatkan uang terus ditayangkan tanpa memikirkan bagaimana nasib moral bangsa kita, khususnya para penerus bangsa ini.

Tadi pendapat saya tentang dunia pertelevisian di Indonesia saat ini. Bagaimana dengan kalian?

Tolong komentarnya ya.............

Makasih. :)

-galuh-

Sumber: www.google.com